MAdBB-22


MATA AIR DI BAYANGAN BUKIT

JILID 22

kembali | lanjut

cover madbb-22BRAMADARU sendiri semula memang tidak menaruh perhatian terhadap saudara sepupunya itu. Tetapi karena ia selalu datang atas nasehat gurunya, maka lambat laun, anak muda itu menganggap bahwa saudara sepupunya itu memang seorang gadis yang cantik. Tetapi lebih dari pada itu, maka gadis itu merupakan satu-satunya anak Pangeran Sena Wasesa yang akan mewarisi semua kekayaan ayahnya, termasuk yang masih tersembunyi.

“Angger Bramadaru akan mendapatkan kedua-duanya. Seorang puteri dan pusaka serta harta benda itu” berkata Ki Ajar Wrahasniti kemudian, “Jika kelak angger Bramadaru ingin mempunyai isteri yang lain lagi, maka itu bukan satu soal yang sulit apabila segalanya memang sudah dikuasai. Bukankah tidak aneh jika seseorang memiliki lebih dari seorang isteri?”

Pangeran Gajahnata mengangguk-angguk. Ia mengerti jalan pikiran dan keinginan Ki Ajar Wrahasniti. Dan agaknya Pangeran Gajahnata itu pun sama sekali tidak berkeberatan jika anaknya berbuat demikian. Bahkan Pangeran Gajahnata pun telah memikirkan akibat yang dapat terjadi kemudian.

“Pangeran” berkata Ki Ajar, “dalam hubungan ini, seandainya kelak terjadi perselisihan antara Pangeran dengan Pangeran Sena Wasesa karena soal warisan itu dan penggunaannya, maka Pangeran tidak usah cemas, Angger Bramadaru telah memiliki segala macam ilmu yang akan dapat melindungi dirinya. Perselisihan yang demikian tentu akan dianggap sebagai perselisihan keluarga, sehingga tidak akan banyak pihak yang mencampurinya. Bahkan seandainya ada juga orang yang terlibat, maka Pangeran sendiri dan sudah barang tentu, aku, gurunya akan terlibat pula ke dalamnya”

“Tetapi tidak mustahil bahwa warisan itu baru akan diberikan setelah Pangeran Sena Wasesa mendekati hari akhirnya” berkata Pangeran Gajahnata.

“Memang mungkin Pangeran, tetapi rahasianya tentu sudah diungkapkan sebelumnya” jawab Ki Ajar Wrahasniti, “Jika tidak demikian maka akan dapat terjadi, bahwa Pangeran Sena Wasesa tidak akan mempunyai kesempatan untuk mewariskan pusaka dan harta benda itu jika maut memanggilnya tiba-tiba”

Pangeran Gajahnata mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Ajar Wrahasniti berkata selanjutnya, “Dalam pada itu, jika rahasia itu sudah terungkap dan Pangeran Sena Wasesa masih saja berumur panjang, maka dapat diusahakan memperpendek umur Pangeran itu dengan banyak cara”

Pangeran Gajahnata tidak menjawab. Tatapi di dalam angan-angannya tengah bermain rencana yang disebut oleh Ki Ajar Wrahasniti. Nampaknya usaha itu memang akan dapat berhasil jika Bramadaru berhasil.

Karena itu, maka Pangeran Gajahnata pun bertanya kepada anaknya, “Bramadaru, sebagian besar dari rencana ini tergantung kepadamu. Kau memiliki modal yang dapat kau pergunakan untuk memikat hati gadis itu. He, apakah kau tahu nama gadis itu?”

“Tentu ayahanda” jawab Bramadaru, “Tetapi yang aku kenal hanyalah nama panggilannya. Raden Ajeng Ceplik.

“Ceplik?” ulang Pangeran Gajahnata.

“Nama panggilan. Aku tidak pernah bertanya namanya yang sesungguhnya. Sejak kanak-kanak aku memanggilnya Diajeng Ceplik. Kemudian untuk beberapa tahun kami jarang sekali bertemu. Ketika kesempatan untuk berkunjung ke rumahnya terbuka, pada saat pamanda Pangeran Sena Wasesa tidak ada, aku masih saja memanggilnya Diajeng Ceplik. Dan gadis itu pun tidak menolaknya” jawab Bramadaru.

“Justru satu panggilan yang akrab” potong Ki Ajar Wrahasniti.

Bramadaru tidak menjawab. Tetapi kepalanya justru telah menunduk.

Memang ada semacam benturan yang terjadi di hati Bramadaru. Ia memang menganggap bahwa puteri Pangeran Sena Wasesa itu adalah seorang puteri yang cantik. Tetapi ia masih belum dapat menilai perasaannya yang paling dalam terhadap gadis itu.

Meskipun demikian, maka ia harus mulai berusaha mengikat hati gadis itu untuk satu kepentingan yang lain. Pusaka dan harta benda yang tidak ternilai harganya, yang menurut gurunya, tidak akan pernah diserahkan kepada Kangjeng Sultan di Demak.

“Hanya orang gila sajalah yang akan melepaskan pusaka dan harta benda yang sekian banyaknya” berkata gurunya ketika ia mulai menyusun rencananya dengan penuh kepercayaan bahwa Pangeran Sena Wasesa pasti akan dapat dibebaskan dari tangan penculik-penculiknya oleh prajurit Demak, “sementara itu Sultan Demak tidak akan mendapat bukti atau saksi yang dapat menjadi alasan untuk memaksa Pangeran Sena Wasesa mengatakan sesuatu tentang pusaka dan harta benda itu. Jika Pangeran itu puguh sikapnya dan menyatakan bahwa ia tidak tahu menahu tentang pusaka dan harta benda itu, maka ia tentu akan luput dari segala tuntutan”

Atas dasar pikiran itulah, maka segala rencana telah disusun. Bahkan Ki Ajar itu pun berkata pula, “Jika kemudian ada yang mengatakan bahwa pusaka dan harta benda itu sudah kembali ke Demak, maka berita itu tentu satu ceritera yang disebar luaskan oleh Pangeran Sena Wasesa sendiri untuk menghindari usaha-usaha untuk merebutnya”

Demikianlah, maka Pangeran Gajahnata meletakkan harapannya kepada Bramadaru. Karena menurut Pangeran Gajahnata, segalanya itu sebenarnya untuk kepentingan Bramadaru sendiri di kemudian hari.

“Segalanya terserah kepada usahamu Bramadaru. Aku percaya bahwa kau akan dapat melakukannya dengan baik bagi hari depanmu sendiri. Jika kau mengalami kesulitan-kesulitan, maka biarlah gurumu memberikan petunjuk-petunjuk bagimu. Bahkan jika terpaksa kau menghadapi hambatan yang harus dipecahkan dengan kekerasan, maka kau akan dapat mengatakannya kepada gurumu dan kepadaku” pesan Pangeran Gajahnata kemudian.

Bramadaru tidak dapat ingkar. Pusaka dan harta benda itu memang sangat menarik. Apalagi apabila ia berhasil mengarahkan perasaannya sendiri untuk tertarik kepada gadis yang dikenal nama panggilannya Raden Ajeng Ceplik itu.

Dalam pada itu, Pangeran Sana Wasesa dan tamu-tamunya telah berada di istana Kapangeranan. Puteri Pangeran Sena Wasesa yang melihat ayahandanya benar-benar datang sebagaimana sudah didengarnya bahwa ayahandanya berada di istana Demak, tidak dapat menahan tangisnya. Sambil memeluk ayahandanya, maka air matanya mengalir tanpa dapat ditahankannya lagi betapapun ia berusaha, karena bersama ayahandanya telah datang pula beberapa orang menyertainya.

“Sudahlah ngger” suara ayahandanya bernada dalam marilah. Hari ini kita mendapatkan beberapa orang tamu. Mereka adalah kawan-kawan ayahanda yang telah ikut serta menyelamatkan ayahanda”

Puteri itu mengusap matanya. Tetapi isak tangisnya masih saja tertahan-tahan di kerongkongan.

“Kita akan menerima tamu-tamu kita dengan baik. Kau harus menyediakan tempat untuk beristirahat di gandok serta menyediakan jamuan bagi mereka. Ayahanda telah minta agar tamu-tamu kita itu bermalam barang dua tiga hari di rumah ini”

Puteri itu mengangguk-angguk. Dilepaskannya ayahandanya. Dengan tidak sengaja puteri itu menebarkan pandangan matanya, menatap tamu ayahandanya seorang demi seorang. Ketika terpandang olehnya Rahu dan Jlitheng, maka hati puteri itu menjadi berdebar-debar. Ia merasa pernah melihat wajah-wajah itu. Juga wajah Semi yang ikut pula bersama ayahandanya.

Tetapi ayahandanya telah mengetahui peristiwa yang terjadi di rumahnya sepeninggalnya. Ia pernah mendengar hal itu diceriterakan kepadanya. Karena itu, ketika ia melihat sikap dan pandangan mata puterinya, maka katanya, “Kau tentu pernah mengenal mereka. Mereka adalah orang-orang yang pernah datang ke rumah kita”

Wajah puteri itu menjadi tegang. Namun ayahandanya melanjutkan. Mereka adalah orang-orang yang telah ikut mengambilku dari rumah ini. Tetapi mereka pula yang ikut menolong aku. Bahkan bukankah ada diantara mereka yang telah menyelamatkanmu dari tangan-tangan orang yang gila itu”

Puteri itu menarik nafas dalam-dalam. Ia teringat semuanya. Namun dengan demikian, terasa seluruh kulitnya meremang. Jika saat itu benar-benar jatuh ke tangan orang-orang Sanggar Gading yang gila itu, maka nasibnya akan lebih buruk dari ayahandanya.

Demikianlah, maka Raden Ajeng Ceplik itu pun kemudian telah mengatur segala sesuatunya untuk menerima tamu-tamu ayahandanya. Para pelayan pun ikut menjadi sibuk pula. Ada yang membersihkan gandok istana itu dan ada pula yang sibuk di dapur untuk menyiapkan jamuan.

Ternyata bahwa kehadiran Pangeran Sena Wasesa rasa-rasanya telah membuat istana itu terbangun kembali. Meskipun para abdi dengan setia menunggui istana itu serta puteri Pangeran Sena Wasesa yang tidak mau meninggalkan istana untuk tinggal di tempat keluarga dan saudara-saudara ayahandanya, serta para pengawal yang patuh menjalankan kewajiban mereka meskipun Pangeran Sena Wasesa tidak ada di istana, rasa-rasanya istana itu bagaikan tertidur.

Untunglah bahwa saudara-saudara Pangeran Sena Wasesa memperhatikan keadaan istana itu, sehingga satu dua diantara mereka sering datang berkunjung ke rumah itu untuk menengok Raden Ajeng Ceplik.

Namun pada hari itu, kepangeranan itu menjadi ramai. Suasana yang gembira telah meliputi seisi istana. Puteri Pangeran Sena Wasesa itu pun nampak gembira sekali. Kerinduannya kepada ayahnya hampir tidak tertanggungkan. Dan kini, tiba-tiba ayahandanya telah kembali dengan selamat.

Tetapi diantara para tamu, Endang Srini merasa jantungnya berdenyut semakin cepat. Ia merasa kecil untuk berada diantara keluarga istana itu. Apalagi setelah ia melihat wajah puteri Pangeran Sena Wasesa yang cantik tetapi murung. Gadis itu sudah tidak beribu lagi. Kemudian untuk beberapa lamanya, ayahandanya telah direnggut oleh tangan-tangan yang kasar.

“Ia telah menemukan ayahandanya kembali” berkata Endang Srini di dalam hatinya, “Apakah aku akan merampasnya sekali lagi? Apakah kehadiranku disini tidak akan merusakkan hati gadis yang cantik dan murung itu?”

Pertanyaan itu tidak dapat dijawabnya sendiri. Tetapi Endang Srini tidak dapat menanyakan hal itu kepada Daruwerdi. Jika ia berbuat demikian, Daruwerdi lah yang akan dapat tersinggung pula karenanya.

Untuk beberapa saat, ibu Daruwerdi itu pun masih saja menahan hatinya. Ia sama sekali tidak mengatakannya kepada siapapun juga. Sementara itu, kegembiraan benar-benar telah menyelimuti istana itu. Bukan saja puteri Pangeran Sena Wasesa, tetapi Pangeran Sena Wasesa itu sendiri merasa dirinya terlalu bergembira. Ia telah berada dilingkungan keluarganya. Bukan saja Raden Ajeng Ceplik yang akan memanggilnya ayahanda, tetapi seorang anak laki-laki telah menyertainya pula. Meskipun ada semacam keragu-raguan untuk menyampaikan hal itu kepada puterinya.

Selain kegembiraan itu, maka Pangeran Sena Wasesa pun merasa dirinya akan menemukan hidup yang tenang dalam lingkungan keluarganya, justru karena ia sudah berterus terang tentang harta benda dan pusaka yang telah menjadi sasaran perburuan yang tidak henti-hentinya kepada Kangjeng Sultan. Apalagi setelah ia menerima pernyataan dari Kangjeng Sultan, bahwa kesalahan itu telah dimaafkan.

Namun dalam pada itu, ketika kemudian malam turun dan suasana Kapangeranan itu menjadi hening, maka mulailah Pangeran Sena Wasesa merenungi dirinya sendiri. Ia masih saja diliputi oleh keragu-raguan untuk mengatakan kepada anak gadisnya, bahwa diantara para tamunya itu terdapat dua orang yang mempunyai kedudukan yang berbeda dari tamu-tamunya yang lain. Keduanya adalah Endang Srini dan anak laki-lakinya.

Dalam kebimbangan itu, hampir diluar sadarnya, Pangeran Sena Wasesa telah berada di pendapa justru pada saat orang-orang lain tertidur nyenyak. Bukan saja karena kelelahan, tetapi karena mereka merasa tidak lagi dibelit oleh persoalan yang dapat membuat mereka menjadi gelisah.

Tetapi sementara itu, terdengar desir kaki seseorang di halaman. Bukan penjaga yang ada di regol. Tetapi dekat di bawah tangga pendapa itu.

Ketika Pangeran Sena Wasesa berpaling, dilihatnya seorang perempuan berdiri termangu-mangu. Endang Srini.

“O” desis Pangeran Sena Wasesa, “kemarilah. Duduklah disini”

Tetapi Endang Srini menggeleng. Jawabnya, “Apakah aku pantas duduk bersama Pangeran di pendapa yang besar ini?”

Pangeran Sena Wasesa lah yang, kemudian bangkit dan turun mendekati Endang Srini. Dengan lembut ia berkata, “Siapapun kau, tetapi kau adalah isteriku”

“Dahulu Pangeran” jawab Endang Srini, “Aku dahulu memang isteri Pangeran. Tetapi aku adalah perempuan padukuhan. Karena itu barangkali aku memang tidak pantas berada di pendapa itu. Biarlah putera Pangeran itu saja yang akan ikut mendapatkan kamukten di istana ini. Biarlah aku kembali ke padepokan bersama ayah angkatku, Ajar Cinde Kuning”

Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kita dapat berbicara panjang. Marilah. Duduklah”

“Terima kasih Pangeran” jawab Endang Srini, “sebaiknya Pangeran melupakan semua peristiwa yang pernah terjadi, Dahulu pada waktu yang berjarak panjang, atau kemarin. Jika ada kemurahan hati Pangeran biarlah anakku mengabdikan diri di istana ini. Sementara itu, kepergianku akan mengurangi beban perasaan pada putri yang baru saja merasa menemukan ayahandanya kembali”

“Aku akan berbicara dengan putriku” berkata Pangeran Sena Wasesa, tetapi tidak sekarang. Memang mungkin terjadi saat gejolak kecil di dalam hatinya. Namun demikian aku berharap bahwa akhirnya ia akan dapat mengerti”

“Pangeran” jawab Endang Srini kemudian, “Mungkin Pangeran dapat menempuh satu cara yang lebih baik. Meskipun hati puteri itu akan terluka pula, tetapi tidak separah jika puteri itu terpaksa menerima kehadiranku disini. Pangeran dapat mengatakan, bahwa anak itu lahir bersama dengan ke-matian ibunya, sebelum Pangeran kemudian kawin dengan ibu puteri Pangeran sekarang ini”

Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Aku tidak dapat melakukannya. Ibu anakku itu sudah tidak ada. Aku berharap bahwa ia dapat menerimamu sebagai ibunya”

“Aku seorang yang lahir dari darah pidak pedarakan. Dari darah jelata yang barangkali memang tidak pantas untuk berada di istana ini sebagai seorang hamba sekalipun”

“Jangan berkata begitu Srini. Aku baru saja menerima anugerah yang tidak ada taranya. Aku telah dibebaskan dari segala tuntutan oleh Kangjeng Sultan karena kecuranganku, dan aku telah merasa berkumpul kembali dengan keluargaku. Marilah kita mulai dengan satu lembaran kehidupan baru yang terbuka, tanpa sesuatu yang tersembunyi. Aku ingin hidup dengan tenang tanpa dibayangi oleh satu rahasia yang selalu memburu dalam kecemasan. Setiap saat kita dicengkam oleh ketakutan bahwa rahasia itu pada satu waktu akan terbuka Karena itu, marilah kita membuka rahasia itu segera. Jika satu masalah akan timbul, biarlah segera kita ketahui. Dengan demikian kita akan segera dapat menanganinya”

“Pangeran” jawab Endang Srini, “Pangeran tidak akan diburu oleh ketakutan bahwa pada satu saat rahasia itu akan terbuka karena perempuan yang pernah melahirkan seorang anak laki-laki itu dapat Pangeran anggap telah mati”

“Endang Srini” berkata Pangeran Sena Wasesa, “Apakah dengan demikian berarti bahwa aku harus melupakan kau untuk selamanya?”

“Sebagaimana seseorang yang telah mati, maka ia hanya dapat dikenang, atau bahkan dilupakan” jawab Endang Srini.

“Tidak. Aku tidak ingin berbuat seperti itu. Aku baru sap terlepas dari belenggu kegelisahan karena aku merahasiakan harta benda itu. Sekarang aku tidak mau jatuh lagi dalam belenggu yang sama karena aku merahasiakan seseorang dalam sentuhan kehidupanku. Karena itu aku akan mengatakan segalanya. Besok, jika persoalan harta benda itu benar-benar telah aku selesaikan. Kalau sudah ada kepastian, langkah apakah yang akan diambil oleh Kangjeng Sultan, meskipun, belum dilaksanakan” berkata Pangeran Sena Wasesa.

Endang Srini menundukkan kepalanya. Tetapi rasa-rasanya ia sedang menghadapi satu masalah yang tidak terpecahkan. Satu beban perasaan yang tidak terangkat.

“Seandainya aku benar-benar telah mati” berkata Endang Srini di dalam hatinya. Namun perasaan itu tidak terucapkan nya.

Sementara itu, Pangeran Sena Wasesa telah berkata pula, “Marilah Srini. Kita dapat berbicara dengan tenang di pendapa”

“Terima kasih Pangeran. Aku mohon diri. Mungkin aku perlu menenangkan hati” jawab Endang Srini.

Pangeran Sena Wasesa tidak menahannya. Dibiarkannya Endang Srini kemudian meninggalkan pendapa menuju ke gandok. Untuk sementara Endang Srini di tempatkan di gandok bersama Swasti sebelum Pangeran Sena Wasesa menyatakan kepada puterinya dan kepada seluruh isi istana itu tentang dirinya yang sebenarnya.

Ketika ia memasuki biliknya, ternyata Swasti telah duduk di bibir pembaringannya. Ternyata gadis yang berpendengaran tajam itu, tidak dapat ditinggalkannya dalam keadaan tidur lelap. Swasti mendengar sejak ibu Daruwerdi itu keluar dari biliknya. Bahkan gadis itu sempat melihat apa yang dilakukan oleh Endang Srini. Namun ketika ia melihat Endang Srini itu berbincang dengan Pangeran Sena Wasesa dari balik pintu yang renggang setebal lidi, maka ia pun mengurungkan maksudnya untuk menyusul keluar.

“Kau belum tidur ngger?” bertanya Endang Srini.

“Aku mendengar pintu bergerit” jawab Swasti,

Endang Srini tidak bertanya lebih lanjut. Ia pun mengerti, gadis yang memiliki kemampuan olah kanuragan yang tinggi itu tentu memiliki pula pendengaran yang tajam, sehingga karena itu, maka tidak mustahil bahwa gadis itu mendengar langkahnya keluar dari bilik itu.

Sejenak kemudian, maka keduanya pun telah berbaring pula dipembaringan. Tidak ada yang mereka percakapkan. Mereka telah hanyut dalam arus angan-angan mereka masing-masing.

Bahkan kegelisahan rasa-rasanya semakin dalam menusuk di jantung Endang Srini. Ia dibayangi oleh keragu-raguan, apakah ia akan dapat memasuki keluarga Pangeran Sena Wasesa. Ia adalah seorang gadis padukuhan dan yang sudah terlalu lama hidup di padepokan. Seandainya, puteri Pangeran Sena Wasesa itu dapat menerimanya, betapapun hatinya terasa sakit, namun apakah ia akan dapat menyesuaikan diri dalam pergaulan hidup Pangeran Sena Wasesa yang harus berhubungan dengan para bangsawan yang lain. Apakah ia akan dapat menatap wajah putri-putri dari lingkungan bangsawan apabila dalam satu kesempatan ia harus menemui mereka sebagai isteri para Pangeran.

Berbagai persoalan telah bergejolak di dunia angan-angan Endang Srini. Bahkan seakan-akan ia melihat putri Pangeran Sena Wasesa itu meratapi dirinya sendiri.

Dengan wajah yang basah oleh air mata, seolah-olah Raden Ajeng Ceplik itu berlutut di depan makam ibundanya. Menangis mengadukan kepahitan hatinya. Ayahandanya yang hilang itu ternyata telah pulang bersama seorang perempuan yang dikatakannya isterinya.

Diluar sadarnya, Endang Srini lah yang telah mengusap air matanya yang membasah di pelupuk matanya.

Namun Endang Srini telah bertahan sekuat-kuatnya untuk tidak menangis, agar Swasti tidak menjadi bingung menanggapi keadaannya.

Sementara itu, di dalami biliknya, Pangeran Sena Wasesa pun menjadi gelisah. Setelah ia merasa letih duduk sepi sendiri di pendapa, maka ia berusaha untuk tidur barang sejenak. Tetapi ternyata dipembaringannya matanya sama sekali tidak dapat dipejamkannya.

“Aku harus berusaha melunakkan hati Endang Srini dan anakku” berkata Pangeran Sena Wasesa di dalam hatinya, “keduanya harus dapat menerima satu kenyataan tentang diri mereka. Itu jauh lebih baik daripada kita masih harus saling membohongi diri kita sendiri”

Namun Pangeran Sena Wasesa masih memikirkan cara yang paling baik yang akan ditempuh.

Akhirnya sambil berdesah Pangeran Sena Wasesa itu pun bangkit. Katanya kepada diri sendiri, “Aku tidak boleh menunggu. Keputusan Kangjeng Sultan mungkin masih akan diambil satu dua hari. Jika aku menunggu kejelasan sikap Kangjeng Sultan, baru aku akan menyelesaikan persoalan keluargaku, mungkin akan terlambat. Lebih baik aku segera memberitahukan persoalan ini kepada anakku daripada ia justru akan mendengar dari orang lain yang mungkin akan dapat membuatnya semakin sakit”

Dengan demikian, maka Pangeran Sena Wasesa pun segera memutuskan bahwa esok ia akan bertemu dengan anak gadisnya dan berbicara tentang Endang Srini dan Daruwerdi.

Dalam pada itu Daruwerdi sendiri masih belum memikirkan persoalannya terlalu dalam. Ia masih dapat menunggu kapan pun ayahnya yang dikiranya sudah mati itu akan menyampaikan persoalannya kepada adiknya, yang lahir dari ibu yang berbeda. Bahkan ia pun mencoba untuk mengerti, bahwa Pangeran Sena Wasesa tentu memerlukan waktu untuk mengatur perasaannya sendiri sebelum ia menyampaikan persoalan itu kepada puterinya.

Malam yang terasa sangat panjang itu pun akhirnya berlalu juga. Pangeran Sena Wasesa sama sekali tidak berhasil tidur barang sejenak pun sebagaimana Endang Srini. Di tempat yang terpisah keduanya dicengkam oleh kegelisahan tentang hubungan mereka sebagai suami istri yang diantarai oleh jarak. Jarak waktu yang lama sebelum mereka bertemu kembali, jarak pangkat dan derajad dan jarak yang dibatasi oleh satu sekat yang sulit untuk ditembus. Anak gadis Pangeran Sena Wasesa itu sendiri.

Tetapi Pangeran Sena Wasesa telah memutuskan untuk menyampaikan persoalan tentang dirinya itu kepada puterinya pada hari itu juga. Ia ingin puterinya mendengar persoalan itu dari mulutnya sendiri. Tidak dari mulut orang lain yang bersumber pada bisik-bisik yang mungkin akan dapat ditangkap dalam makna yang berbeda.

Karena itu, maka sesudah puterinya menjamu tamu-tamunya dengan makan pagi, maka Pangeran Sena Wasesa telah bersiap-siap untuk memanggilnya di ruang dalam. Namun Pangeran itu telah mencari kesempatan untuk berbicara singkat dengan Endang Srini.

“Aku tidak akan menunggu persoalan pusaka itu selesai” berkata Pangeran Sena Wasesa, “Aku akan mengatakannya sekarang”

Endang Srini tidak menjawab. Tetapi kepalanya menunduk dalam-dalam.

“Beritahukan Daruwerdi. Mungkin aku memerlukannya” berkata Pangeran Sena Wasesa.

Endang Srini masih tetap berdiam diri. Tetapi kepalanya terangguk kecil.

Demikianlah, Pangeran Sena Wasesa pun menyempatkan diri pula untuk berbicara dengan Kiai Kanthi dan Ki Ajar Cinde Kuning. Orang-orang tua yang lebih banyak menekuni masalah kajiwan daripada dirinya sendiri.

“Aku kira sebaiknya memang demikian Pangeran” berkata Ki Ajar Cinde Kuning, “diantara kita, masing-masing telah mengetahui siapakah sebenarnya perempuan yang bernama Endang Srini itu dan siapakah angger Daruwerdi. Karena itu mungkin sekali telah terjadi salah ucap diantara kita yang dapat didengar oleh para pembantu dan para pengawal di istana Pangeran ini, sehingga hal yang demikian itu aku kira akan dengan cepat sekali menjalar dari mulut ke mulut. Jika kemudian sampai terdengar oleh puteri Pangeran, maka memang mungkin sekali akan dapat menumbuhkan persoalan yang gawat jika terjadi salah mengerti. Karena itu, rencana Pangeran untuk menyampaikannya hari ini adalah sangat bijaksana”

Pangeran Sena Wasesa mengangguk-angguk, sementara Kiai Kanthi berkata, “Pangeran, misalnya Pangeran menyimpan buah yang masak, jangan ditunggu sampai menjadi rusak. Selagi kita masih ada disini. Mungkin kami akan dapat membantu Pangeran”

Pangeran Sena Wasesa mengangguk-angguk Namun katanya kemudian, “Kiai Kanthi, aku berharap bahwa anak gadismu akan mempunyai pengaruh yang besar bagi kehidupan dan cara hidup anak perempuanku itu. Kekerasan jiwanya dan sikapnya yang tangguh jauh berbeda dengan kehidupan anakku yang selamanya tinggal di dalam satu lingkungan yang tidak pernah mengalami keprihatinan. Dengan demikian, mungkin sekali goncangan-goncangan kecil akan dapat menyeretnya sedalam satu keadaan yang sangat gawat”

“Puteri Pangeran itu baru saja mengalami goncangan yang sangat berat Ketika Pangeran hilang dari istana ini, maka puteri itu tentu merasa sangat berprihatin” jawab Kiai Kanthi.

“Kiai benar. Tetapi yang aku maksudkan adalah tempaan jiwa dalam kehidupannya sehari-hari. Bukankah dalam waktu yang singkat, selama aku tidak ada di istana telah membuatnya menjadi kurus dan kering. Jika aku tidak segera terlepas dari keadaan ini, mungkin anak gadisku itu pun tidak akan dapat mengatasi persoalannya sendiri” berkata Pangeran Sena Wasesa. Kemudian, “Namun demikian, nampaknya anak gadisku tidak menjadi akrab dengan anak gadis Kiai”

Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Kemudian Katanya, “Cara dan tata kehidupan yang berbeda yang ada pada anak gadisku dan anak gadis Pangeran itulah yang telah membatasi mereka. Anakku adalah seorang perempuan yang hidupnya mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain, atau jika menetap, maka ia akan menetap di lereng-lereng pegunungan atau di padukuhan-padukuhan yang jauh. Itulah agaknya yang membuatnya canggung disini. Sementara puteri Pangeran pun merasa canggung pula melihat sikap anak gadis itu yang jarang bergaul”

“Apakah sifat keduanya tidak dapat dipertemukan dalam satu hubungan yang saling mengisi?” bertanya Pangeran Sena Wasesa.

“Aku kira masih mungkin Pangeran” jawab Kiai Kanthi.

“Aku mohon Kiai dapat memberikan beberapa petunjuk kepada anak gadis Kiai. Aku mencemaskan gejolak yang akan timbul di hati anakku jika ia mengetahui kehadiran seorang perempuan yang lain di istana ini. Seorang isteri dari ayahnya tetapi bukan ibunya. Dalam keadaan yang demikian, ia memerlukan seorang yang akrab” berkata Pangeran Sena Wasesa.

“Aku akan mencoba Pangeran. Mungkin Swasti akan dapat mengajaknya bermain-main dengan jenis permainan yang belum pernah dikenal langsung oleh puteri Pangeran” berkata Kiai Kanthi. Lalu, “Tetapi sudah tentu bukan gatheng atau jirak miri. Swasti tidak akan telaten untuk melakukannya”

“Lalu apa yang akan dilakukan oleh Swasti?” bertanya Pangeran Sena Wasesa.

“Mungkin berburu di pinggir Kota Raja. Berburu burung dengan supit atau berburu kijang dengan busur dan anak panah” jawab Kiai Kanthi.

Pangeran Sana Wasesa menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun mengangguk-angguk, “Apapun yang dapat dilakukan, asal hal itu akan dapat menghiburnya kelak”

Dengan demikian, maka Pangeran Sena Wasesa telah mematangkan keadaan untuk sampai pada satu pembicaraan yang bersungguh-sungguh dengan puterinya. Karena itu, maka setelah pembicaraannya dengan orang-orang tua itu, ia pun telah memanggil puterinya untuk menghadap.

Tetapi Pangeran Sena Wasesa terkejut, ketika puterinya kemudian datang menghadap bersama seorang anak muda.

Namun Pangeran Sena Wasesa segera mengenalnya, karena anak muda itu adalah kemanakannya.

“O, bukankah kau putera kakangmas Pangeran Gajahnata?” bertanya Pangeran Sena Wasesa.

“Benar pamanda” jawab Bramadaru sambil menundukkan kepalanya.

“Oh, maaf. Bukannya aku menganggap kau orang lain, tetapi aku lupa, siapakah namamu?” bertanya Pangeran Sena Wasesa.

“Bramadaru pamanda” jawab anak muda.

“O, ya. Bramadaru. Benar, aku ingat sekarang. Kau jarang sekali berkunjung kemari”

“Untuk beberapa tahun aku pergi berguru pamanda. Agaknya karena itu aku jarang sekali sempat menghadap pamanda” jawab Bramadaru.

“Sekarang kau sudah selesai?” bertanya Pangeran Sena Wasesa pula.

“Belum ayahanda. Tetapi yang aku lakukan kemudian tinggallah memperdalam ilmu yang sudah aku terima. Dan itu dapat aku lakukan dimana saja. Juga di rumah. Sementara itu, kesempatanku pun menjadi lebih luas untuk dapat mengunjungi sanak kadang” jawab Pangeran Sena Wasesa pula.

Pangeran Sena Wasesa mengangguk-angguk. Namun dengan demikian, ia tidak dapat mengatakan persoalannya kepada anak gadisnya. Ia harus menunggu sampai Bramadaru meninggalkan istana itu, karena Pangeran Sena Wasesa tidak akan dapat mengusirnya.

Namun dalam pada itu, puteri Pangeran Sena Wasesa itulah yang kemudian bertanya, “Apakah ayahanda memanggil aku?”

“O, tidak” jawab Pangeran Sena Wasesa, “Aku hanya menanyakan, karena kau tidak kelihatan”

“Aku menemui kakangmas Bramadaru di serambi” jawab puteri itu.

“Baiklah. Silahkan Bramadaru. Kunjunganmu akan memberikan kegembiraan pada adikmu” berkata Pangeran Sena Wasesa,

Dalam pada itu, maka puteri itu pun kemudian meninggalkan ruang dalam dan kembali ke serambi bersama Bramadaru.

Untuk beberapa saat keduanya masih berbincang dengan gembira. Banyak persoalan tentang keadaan istana itu yang mereka percakapkan. Bagaimana perasaan Raden Ajeng Ceplik itu pada saat ayahandanya kembali.

“Seperti menemukan hidupku kembali” jawab Raden Ajeng Ceplik.

“Menyenangkan sekali” berkata Bramadaru, “kehadiran pamanda. Pangeran Sena Wasesa tidak saja memberikan kegembiraan di seluruh isi istana ini. Tetapi juga kepadaku dan keluargaku”

“Tentu” jawab Raden Ajeng Ceplik, “bahkan seisi Demak. Kangjeng Sultan pun tentu merasa gembira atas kehadiran ayahanda kembali”

“Ya” jawab Bramadaru, “Tetapi lebih-lebih lagi ayahanda Pangeran Gajahnata”

“O, kenapa pamanda Gajahnata menjadi lebih gembira dari yang lain?” Raden Ajeng itu bertanya hampir diluar sadarnya

Bramadaru menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja ia terdiam. Sedangkan pandangan matanya menyapu pohon-pohon bunga di halaman samping istana itu.

Raden Ajeng Ceplik mengerutkan keningnya. Ketika ia melihat wajah Bramadaru yang menjadi bersungguh-sungguh, maka ia pun menjadi berdebar-debar.

“Kakangmas Bramadaru” desisnya, “Apakah pertanyaanku menyinggung perasaanmu”

“O, tidak, tidak diajeng” jawab Bramadaru dengan serta merta.

“Tetapi nampaknya ada sesuatu yang tiba-tiba saja kau pikirkan” sambung Raden Ajeng Ceplik.

Bramadaru menjadi ragu-ragu. Tetapi selalu diingatnya pesan gurunya, bahwa ia harus segera menyampaikan kepada Raden Ajeng Ceplik mengenai minatnya untuk meminang puteri itu. Hal itu tentu akan berpengaruh atas perasaannya, sehingga ia tidak lagi berpaling kepada orang lain. Apalagi Bramadaru adalah masih sanak kadang sendiri. Dengan pernyataan itu, maka hati puteri itu tentu akan merasa terikat.

Tetapi Bramadaru tidak segera dapat mengatakannya. Meskipun hubungannya dengan Raden Ajeng Ceplik menjadi akrab, apalagi agaknya Pangeran Sena Wasesa juga tidak mempunyai apapun juga, namun ada semacam keragu-raguan. Justru karena sikap Raden Ajeng Ceplik yang terlalu akrab.

“Agaknya memang tidak ada perasaan apapun di dalam hatinya” berkata Bramadaru kepada diri sendiri, “Jika ada sesuatu yang menyentuh hatinya dalam, pergaulan ini, ia tentu akan bersikap lain. Gadis itu justru akan menjadi kaku dan mengambil satu jarak tertentu”

Selagi Bramadaru dicengkam oleh keragu-raguan, Raden Ajeng Ceplik benar-benar menjadi cemas. Tetapi ia tidak berani bertanya lagi tentang perasaan saudara sepupunya itu.

Dalam pada itu, maka Bramadaru pun berkata kepada diri sendiri, “Mungkin tidak ada perasaan apa-apa di hati diajeng Ceplik. Namun jika aku mengatakannya, ia akan memikirkannya. Baru kemudian akan tumbuh perasaan itu perlahan-lahan. Aku memang tidak boleh terlalu tergesa-gesa seperti yang dikehendaki oleh guru”

Sementara itu dalam keheningan, akhirnya Bramadaru berusaha untuk menyatakan perasaan itu dengan caranya, “Diajeng, aku mohon maaf, bahwa tiba-tiba saja ada sesuatu yang memaksa aku untuk bersikap lain. Aku memang ingin berbicara tentang persoalan yang harus direnungi dengan sungguh-sungguh”

“Kau membuat hatiku menjadi berdebar-debar kakangmas” sahut Raden Ajeng Ceplik.

“Bukan satu hal yang sangat penting” berkata Bramadaru kemudian, “namun sekedar persoalan yang mungkin dapat kau pikirkan”

“Kau membuat aku semakin gelisah” desis Raden Ajeng Ceplik,

“Diajeng” berkata Bramadaru dengan sungguh-sungguh, “Aku mengenalmu sudah sejak lama. Sejak kita masih kanak-kanak. Tetapi untuk beberapa tahun aku terpisah dari pergaulan para bangsawan karena aku pergi berguru. Baru beberapa, saat kemudian aku kembali ke istana. Pada saat yang demikian, kita sudah menginjak dewasa”

Wajah Raden Ajeng Ceplik menjadi tegang. Sementara itu Bramadaru berkata selanjutnya, “Aku menjadi dewasa seperti ini, dan diajeng Ceplik pun telah tumbuh menjadi seorang gadis. Diajeng, aku minta maaf, bahwa pertemuan kita yang kemudian itu telah menumbuhkan sesuatu di dalam hatiku. Aku tidak tahu, apakah perasaan yang demikian itu tumbuh juga di dalam hatimu. Namun untuk waktu yang cukup lama bagiku, aku harus menahannya, karena kau sedang dicengkam oleh keprihatinan karena pamanda Pangeran Sena Wasesa hilang”

Wajah Raden Ajeng Ceplik menjadi merah. Jantungnya serasa berdetak semakin cepat. Namun justru mulutnya rasa-rasanya bagaikan tersumbat.

Untuk beberapa saat keduanya telah terdiam. Raden Ajeng Ceplik yang sudah menginjak masa dewasanya itu tahu pasti apa yang dimaksud oleh Bramadaru,

Bramadaru menyadari, bahwa adik sepupunya itu tentu tidak akan segera menjawab pertanyaannya. Mungkin Raden Ajeng Ceplik masih akan memikirkannya. Meskipun seandainya Raden Ajeng Ceplik itu memang sudah mempunyai sentuhan perasaan sejak sebelumnya, ia tentu tidak segera menjawab.

Karena itu, maka Bramadaru kemudian berkata, “Maaf diajeng. Aku sama sekali tidak ingin membuatmu menjadi gelisah. Aku juga tidak ingin memaksamu menjawabnya sekarang. Tetapi seperti yang aku katakan, kedatangan kembali pamanda Pangeran Sena Wasesa memberikan harapan yang lebih cerah bagiku. Pada saatnya, ayahanda Pangeran Gajahnata tentu akan datang menemui pamanda Sena Wasesa untuk membicarakan persoalan kita sebagaimana seharusnya”

Raden Ajeng Ceplik sama sekali tidak menjawab. Tetapi wajahnya menjadi semakin tunduk.

Dengan demikian, maka pembicaraan diantara keduanya pun seakan-akan telah terputus. Sikap Raden Ajeng Ceplik menjadi berubah sama sekali. Justru karena ia telah mendengar sikap saudara sepupunya.

Karena itu, maka sejenak kemudian Bramadaru pun berkata, “Diajeng baiklah aku minta diri. Sekali lagi aku minta maaf. Tetapi aku minta kau memikirkannya. Pada saat yang berbahagia bagimu karena kedatangan kembali pamanda Sena Wasesa, aku telah menyampaikan harapanku”

Raden Ajeng Ceplik masih belum menjawab. Tetapi ia mengikuti langkah Bramadaru yang meninggalkan istana itu sampai ke regol.

“Aku minta diri diajeng. Tolong sampaikan kepada pamanda Sena Wasesa, bahwa aku mohon diri. Kegelisahanku membuat aku lupa menghadap untuk mohon diri” berkata Bramadaru.

Raden Ajeng Ceplik sama sekali tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk kecil.

Demikianlah, ketika Bramadaru hilang ditikungan. Maka Raden Ajeng Ceplik itu pun dengan tergesa-gesa telah pergi ke biliknya. Terasa jantungnya masih berdebar terlalu cepat Ia memang tidak terlalu banyak bergaul dengan anak-anak muda karena keadaannya. Karena itu, pernyataan Bramadaru yang tiba-tiba itu terasa menggoncangkan isi dadanya.

Untuk beberapa saat Raden Ajeng Ceplik itu masih merenung di dalam biliknya. Rasa-rasanya gadis itu sedang menilai dirinya sendiri. Apakah yang telah menarik perhatian Bramadaru, bahwa tiba-tiba saja anak muda itu telah menyatakan perasaannya. Di luar dinding istana itu, masih banyak gadis-gadis sebayanya. Puteri-puteri bangsawan seperti dirinya. Tetapi kenapa Bramadaru itu telah memilihnya., “Apakah aku lebih cantik dari gadis-gadis yang lain?” tiba-tiba saja telah tumbuh pertanyaan di hati gadis yang menginjak usia dewasa itu.

Namun dalam pada itu, dicobanya pula untuk menilai anak muda yang bernama Bramadaru itu. Anak laki-laki dari seorang Pangeran yang bernama Gajahnata, yang seperti juga ayahnya adalah seorang Senopati prajurit. Dicobanya untuk menilai ujud lahiriahnya dan juga menilai sifat-sifatnya. Tetapi Raden Ajeng Ceplik tidak terlalu banyak mengenal anak muda itu. Yang dikenalnya adalah, bahwa anak muda itu adalah saudara sepupunya. Tidak lebih”

Dalam kesibukan perasaan itu, Raden Ajeng Ceplik terkejut ketika pintu biliknya berderit. Ketika ia mengangkat wajahnya dilihatnya embannya yang setia melangkah masuk. Kemudian sambil berjongkok embannya itu mendekatinya.

“Puteri” tiba-tiba saja embannya berdesis, “Apakah yang dikatakan oleh ayahanda? Bukankah puteri telah dipanggil menghadap?”

Raden Ajeng Ceplik mengerutkan keningnya. Namun kemudian Katanya, “Ayahanda tidak ingin mengatakan sesuatu. Ayahanda hanya menanyakan aku yang untuk beberapa saat tidak nampak karena aku berada di serambi”

“O” emban itu mengangguk-angguk. Tetapi keningnya menjadi berkerut. Katanya, “Aneh. Ayahanda puteri telah dengan sungguh-sungguh memerintahkan puteri untuk menghadap. Bukan sekedar mencari puteri karena untuk beberapa saat ayahanda puteri tidak melihat puteri”

“Tetapi aku telah menghadap ayahanda. Bahkan bersama dengan, kakangmas Bramadaru. Karena ketika ayahanda memanggil, aku memang sedang berada di serambi bersama kakangmas Bramadaru” jawab puteri.

“O, Raden Bramadaru, putera Pangeran Gajahnata itu?” bertanya embannya.

“Ya” jawab Raden Ajeng Ceplik yang tiba-tiba saja telah menunduk. Seolah-olah embannya telah mengetahui, apa yang telah dikatakan oleh Bramadaru kepadanya di serambi.

“Raden Bramadaru terlalu sering mengunjungi puteri. Memang agak lain dengan saudara-saudara puteri yang lain” gumam embannya.

“Kenapa? Bukankah saudara-saudaraku yang lain juga sering datang mengunjungi aku? Apalagi pada saat ayahanda tidak ada di istana” berkata puteri itu.

“Tetapi tidak terlalu sering seperti Raden Bramadaru” berkata emban itu.

“Ah” desah Raden Ajeng Ceplik, “Ia adalah kakak sepupuku. Aku mengenalnya lebih baik dari saudara-saudaraku yang lain. Sejak kami tumbuh remaja. Kemudian kakangmas itu pergi berguru. Baru setelah kami menjelang dewasa, kami telah bertemu kembali, dalam keadaan yang tidak menguntungkan, karena ayahanda tidak ada di istana. Tetapi aku berterima kasih kepadanya, bahwa ia sering mengunjungi aku dalam kesepian itu”

Emban itu mengangguk-angguk. Sambil duduk di lantai disebelah pembaringan momongannya ia mengamati gadis yang duduk di bibir pembaringannya itu.

Namun hampir diluar sadarnya emban itu beritanya, “Puteri, apakah Raden Bramadaru tidak mempunyai kepentingan lain kecuali sekedar menengok adik sepupunya?”

Wajah puteri itu menegang. Kemudian dengan nada tinggi ia bertanya, “Apa maksudmu emban?”

Emban itu terkejut sendiri. Dengan serta merta ia pun kemudian menyahut, “Tidak puteri. Tidak apa-apa”

“Ah, kau sudah menanyakan sesuatu tentang hubunganku dengan kakangmas Bramadaru” gumam puteri itu.

“Puteri” berkata emban dengan ragu-ragu, “Bukan maksudku untuk mengetahui terlalu banyak tentang puteri. Tetapi kehadirannya yang terlalu sering itu agaknya memang terkandung sesuatu maksud tertentu”

“Tetapi aku menerimanya sebagai kakak sepupuku” jawab Raden Ajeng Ceplik.

Emban itu mengangguk-angguk. Meskipun demikian, sebenarnyalah emban pemomong yang setia itu melihat apa yang selama itu tersirat pada hubungan antara keduanya. Terdorong oleh kesetiaannya kepada momongannya, maka perkembangan hubungan antara kedua anak muda yang meningkat dewasa itu telah membuat emban itu menjadi cemas.

Apalagi ketika ia mengamati dari kejauhan, apa yang baru saja terjadi antara keduanya. Meskipun emban itu tidak mendengar pembicaraan antara keduanya, tetapi menilik sikap dan wajah Raden Ajeng Ceplik, serta tingkah laku Bramadaru maka emban yang sudah cukup makan asinnya garam kehidupan itu dapat menebak, apa yang telah dikatakan oleh Bramadaru.

Namun dalam pada itu, agaknya Raden Ajeng Ceplik sendiri merasakan bahwa pertanyaan embannya itu mengarah kepada persoalan yang justru sedang dipikirkannya tentang Bramadaru Karena itu, maka puteri itu pun kemudian mendesak, “Emban. Apakah sebenarnya yang kau ketahui tentang hubunganku dengan kakangmas Bramadaru? Apakah kau sedang menduga-duga atau mendengar pembicaraan kami?”

Emban itu bergeser setapak maju. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia mengusap keringat di keningnya.

“Puteri” berkata emban itu kemudian, “sebagaimana puteri mengetahui, aku adalah emban yang mengasuh puteri sejak puteri masih kanak-kanak. Apalagi karena aku tidak mempunyai anak sendiri, sehingga karena aku tidak mempunyai anak sendiri, sehingga karena itu, seluruh waktu dan bahkan seluruh hidupku tertumpah bagi kepentingan puteri. Karena itulah, maka aku menganggap bahwa puteri bukan saja momonganku, gustiku, dan bendaraku, tetapi puteri juga bagaikan anakku sendiri. Mungkin aku terlalu deksura bahwa aku berani menganggap puteri sebagai anakku sendiri. Tetapi maksudku bahwa sebagaimana seorang biyung yang siap mengorbankan apa saja bagi anaknya. Bahkan nyawanya pada saat anak itu lahir”

Raden Ajeng Ceplik menarik nafas dalam-dalam. Ia semakin merasa bahwa tentu ada sesuatu yang penting yang ingin dikatakannya.

Karena itu, maka katanya, “Bibi, agaknya kau tidak hanya sekedar ingin bertanya, apakah yang dikatakan ayah kepadaku. Tetapi agaknya kau memang mempunyai sesuatu yang ingin kau katakan kepadaku”

Emban itu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian Katanya, “Puteri. Jika aku mengatakan sesuatu, berkenan atau tidak berkenan di hati puteri, namun sebenarnyalah hal itu aku landasi dengan kesetiaanku kepada puteri. Sebagai seorang biyung yang ingin melihat anaknya berbahagia, maka aku pun ingin melihat puteri tidak pernah mengalami sesuatu yang dapat membuat hidup puteri kelak tidak berbahagia. Meskipun belum tentu bahwa kecemasanku itu dapat terjadi”

Raden Ajeng Ceplik menjadi semakin berdebar-debar. Dengan tidak sabar ia mendesak, “Jangan berteka-teki terlalu lama emban. Coba katakan, apa yang sebenarnya sedang kau pikirkan tentang aku”

“Puteri, apakah aku boleh bertanya?” desis emban itu

“Tentang apa bibi?” puteri itulah yang justru bertanya.

“Apakah yang telah dikatakan oleh Raden Bramadaru kepada puteri di serambi?” bertanya emban itu pula.

“Ah” desah puteri itu, “Apakah kau mendengarkannya?”

“Tidak puteri. Aku tidak mendengar. Tetapi aku melihat sikap dan tingkah laku puteri dan Raden Bramadaru” jawab emban itu. Lalu, “Baiklah, tentu puteri akan segan mengatakannya. Biar aku sajalah yang menebak. Puteri, apakah Raden Bramadaru menyatakan bahwa ia mencintai puteri?”

Wajah Raden Ajeng Ceplik menjadi merah. Tetapi emban itu dengan serta merta mengatakan, “Sekali lagi puteri. Aku adalah pemomong puteri. Puteri bagiku adalah gusti, bendara dan sekaligus anak terkasih jika puteri berkenan”

Raden Ajeng Ceplik itu menundukkan wajahnya dalam-dalam. Dengan sendat puteri itu pun kemudian menjawab tanpa mengangkat wajahnya, “Ya bibi”

Emban itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian Katanya, “Itu adalah satu hal yang wajar sekali puteri. Seorang anak muda pada satu saat merasa mencintai seorang gadis. Demikian sebaliknya. Jika Raden Bramadaru mencintai Puteri dan sebaliknya itu adalah hal yang sangat wajar. Tetapi masih ada sesuatu yang ingin aku sampaikan kepada puteri”

Raden Ajeng Ceplik sama sekali tidak mengangkat wajahnya. Seakan-akan tatapan matanya lekat pada lantai biliknya yang mengkilat.

“Puteri” berkata embannya pula, “dalam kewajaran itu puteri harus tetap berhati-hati. Sebenarnya aku hanya ingin mengata-kan, bahwa puteri harus melihat dengan saksama, kenapa tiba-tiba saja Raden Bramadaru sering berkunjung ke rumah ini pada saat ayahanda puteri tidak ada. Sementara itu, sebelumnya, sejak Raden Bramadaru kembali dari perguruannya, ia sudah terlalu banyak bergaul dengan puteri-puteri bangsawan yang lain. Bahkan Raden Bramadaru termasuk seorang anak muda yang mempunyai daerah pergaulan yang luas”

Wajah Raden Ajeng Ceplik menjadi tegang. Dengan nada tinggi Raden Ajeng itu bertanya, “Bibi, bukankah dengan demikian berarti bahwa kau mencurigai kakangmas Bramadaru? Kau menganggap bahwa tentu ada sesuatu yang tidak wajar, bahwa tiba-tiba saja ia menyatakan mencintai aku, sementara itu, ia mempunyai kawan-kawan perempuan yang banyak”

“Ampun puteri” jawab emban itu, “sekali lagi, bahwa hal ini aku sampaikan kepada puteri, justru karena aku tidak ingin melihat sesuatu yang akan dapat mengecewakan puteri. Namun seandainya tanggapanku ini salah, maka masih ada waktu untuk memperbaikinya”

“Aku tidak mengerti emban” potong puteri itu. Emban itu menjadi termangu-mangu. Tetapi ia telah didorong oleh satu perasaan wajib, bahwa ia harus mengatakannya. Karena itu, tanpa menghiraukan akibat yang dapat terjadi atas dirinya sendiri, ia memang sudah bertekad untuk mengatakannya, demi kebaikan Raden Ajeng Ceplik itu sendiri.

“Puteri” berkata emban itu kemudian dengan agak tersendat, “Aku adalah emban di istana Pangeran Sena Wasesa. Aku mempunyai beberapa orang kawan emban di istana-istana yang lain. Kadang-kadang kami bertemu dan berbincang. Mungkin di pasar, mungkin pada saat-saat yang lain jika diantara kami bertemu di jalan. Dalam pembicaraan itu, beberapa orang kawan telah membicarakan Raden Bramadaru yang sering datang ke istana ini”

“Ah, apakah kepentingan mereka dengan kakangmas Bramadaru?” bertanya Raden Ajeng Ceplik.

“Puteri, kawan-kawan emban itu mengetahui apa yang telah terjadi di istana ini. Pada saat Pangeran Sena Wasesa hilang, maka semua orang menjadi sangat kasihan melihat puteri yang sendiri di istana ini. Dengan demikian maka diantara mereka banyak yang memperhatikan keadaan puteri. Mungkin ada beberapa orang paman dan bibi puteri yang mempercakapkan tentang puteri dengan emban-emban masing-masing” emban itu berhenti sejenak, “Dan pada saat yang demikian itulah datang Raden Bramadaru, Pada saat perhatian beberapa orang bangsawan tertuju kepada istana ini”

“Jadi apa salahnya jika kakangmas Bramadaru mengawasi aku dalam saat-saat yang sepi dan gelisah itu?” bertanya Raden Ajeng Ceplik.

“Jika bukan Raden Bramadaru, atau katakanlah, jika sifat-sifat Raden Bramadaru lain dari sifat-sifatnya, maka tidak akan ada seorang pun yang berkeberatan” jawab emban itu memaksa diri.

Wajah Raden Ayu Ceplik tiba-tiba saja telah berubah. Kerut-merut di dahinya menjadi semakin nyata. Dengan ragu puteri itu bertanya, “Bagaimana sifat kakangmas Bramadaru?” tiba-tiba saja di hatinya telah bergejolak keinginan untuk mengetahui lebih banyak lagi tantang Bramadaru.

Emban itu termangu-mangu. Namun akhirnya ia berkata, “Puteri, aku mohon maaf jika aku mengatakan apa yang dikatakan oleh kawan-kawanku tentang Raden Bramadaru. Raden Bramadaru adalah seorang anak muda yang menyenangi gadis-gadis. Sejak Raden Bramadaru kembali dari berguru, sudah ada beberapa orang gadis yang mula-mula menjadi sangat rapat. Bahkan ada diantara gadis-gadis yang diambilnya dari lingkungan para abdi. Dan disaat lain gadis-gadis itu harus segera kawin dengan laki-laki yang sama sekali tidak dikenalinya, yang harus mengawininya dengan upah, karena Raden Bramadaru tidak ingin mengawininya”

“O” puteri itu pun tiba-tiba menutup telinganya. Katanya, “Cukup emban. Ceriteramu sangat mengerikan”

“Ampun puteri” sahut emban itu, “Aku mohon puteri mendengar kata-kataku sebagai kata seorang biyung. Puteri, baru kemudian, tiba-tiba semua gadis, termasuk puteri-puteri bangsawan ditinggalkannya ketika ia mulai, berkenalan dengan puteri”

“Aku sudah mengenalnya sejak masih kanak-kanak” suara puteri itu meninggi.

“Ya. Sejak masih kanak-kanak” jawab emban itu, “maksudku, ia mulai mendekati puteri lagi sejak ia pulang dari berguru”

Raden Ajeng Ceplik menutup, wajahnya dengan kedua tangannya. Keterangan yang didengarnya dari embannya itu membuat kulit di seluruh tubuhnya meremang.

Yang dikatakan oleh embannya itu memang mungkin saja terjadi. Tetapi menilik sikap dan tutur kata Bramadaru selama dikenalnya sebagai anak muda yang dewasa, sama sekali tidak mencerminkan sifat-sifat seperti yang dikatakan oleh emban itu. Bramadaru adalah seorang anak muda yang riang, ramah tetapi sangat sopan.

Untuk sejenak keduanya saling berdiam diri. Dari kedua mata Raden Ajeng Ceplik telah mengalir air mata. Meskipun ia sendiri sama sekali belum mengambil satu keputusan, tetapi keterangan embannya itu membuat hatinya terluka. Bagaimanapun juga Bramadaru adalah saudara sepupunya. Ada semacam ketidak-relaan di dalam hati mendengar tuduhan yang dikatakan oleh emban itu.

Namun sekali lagi emban itu berkata, “Ampun puteri. Yang aku katakan adalah apa yang aku dengar dari kawan-kawanku. Tidak hanya satu dua orang. Bahkan abdi di istana Pangeran Gajahnata pun telah mengatakan demikian pula. Karena itu, aku merasa sangat cemas dengan puteri. Bukan maksudku puteri memutuskan hubungan puteri dengan Raden Bramadaru, tetapi aku mohon puteri menjadi lebih berhati-hati. Tetapi mungkin apa yang aku dengar itu salah. Seandainya demikian, syukurlah. Dan aku telah berusaha untuk berbuat baik bagi puteri yang sudah aku anggap sebagai anakku sendiri”

Raden Ajeng Ceplik masih tetap berdiam diri. Betapapun juga hatinya tersinggung, tetapi ia mengenal embannya itu sejak ia masih kanak-kanak. Ia pun yakin bahwa emban itu sangat setia kepadanya. Karena itu, maka ia pun mengerti bahwa maksud emban itu baik. Persoalannya adalah, apakah yang dikatakan oleh kawan-kawan emban itu benar.

Namun demikian, rasa-rasanya hatinya menjadi buram. Baru saja ia mendengar pengakuan Bramadaru, bahwa hatinya mulai tertambat kepadanya, tiba-tiba saja emban itu telah menceritera-kan sifat-sifat Bramadaru yang mengerikan.

Ruang itu menjadi hening sejenak. Raden Ajeng Ceplik berusaha untuk mengusap pipinya yang basah. Tetapi air mata itu masih saja mengembun dan mengalir perlahan-lahan. Tetapi Raden Ajeng Ceplik tidak menjadi terisak karenanya.

Baru sejenak kemudian, embannya itu pun berkata, “Puteri. Jika aku tergesa-gesa menyampaikan hal ini kepada puteri, justru setelah aku melihat sikap dan tingkah laku puteri dan Raden Bramadaru. Aku tidak ingin terlambat, meskipun seandainya ceriteraku itu menyinggung hati puteri. Namun aku mohon, agar puteri yang sekarang sudah dewasa itu dapat menerima dan mencerna keteranganku secara dewasa pula”

Raden Ajeng Ceplik berusaha untuk mengangguk. Meskipun demikian ia masih mengusap matanya yang basah.

Dalam pada itu, keduanya telah dikejutkan oleh derit pintu yang terbuka Dengan berdebar-debar keduanya melihat Pangeran Sena Wasesa berdiri di muka pintu.

Namun dalam pada itu, Pangeran Sena Wasesa pun telah terkejut pula. Ia melihat puterinya sedang mengusap air matanya. Karena itu, tiba-tiba saja jantungnya pun bergejolak. Yang pertama-tama terbesit di dalam hati Pangeran Sena Wasesa adalah dugaan bahwa puterinya telah mendengar kehadiran seorang perempuan yang ternyata adalah isterinya, yang juga merupakan ibu tiri dari Raden Ajeng Ceplik itu.

Meskipun demikian, Pangeran Sena Wasesa berusaha untuk mengendalikan perasaannya. Dengan sareh Pangeran itu bertanya, “Apakah kau menangis?”

Raden Ajeng Ceplik berusaha untuk menghilangkan kesan itu dari wajahnya. Tetapi agaknya ayahandanya sudah melihat wajahnya yang basah oleh air mata.

“Apakah yang sedang kalian bicarakan?” bertanya Pangeran Sena Wasesa itu kepada embannya, “Mungkin sesuatu yang menyedihkan, menggelisahkan atau kesulitan yang tidak teratasi”

Emban itu menjadi bingung. Untuk sesaat ia masih tetap berdiam diri, sementara Raden Ajeng Ceplik pun menunduk dalam-dalam.

Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sadar, bahwa sulit baginya untuk memaksa puterinya berbicara. Karena itu, maka tiba-tiba saja Pangeran itu berkata, “Emban. Aku ingin berbicara denganmu”

Dada emban itu bagaikan bergejolak. Jantungnya seakan-akan melonjak-lonjak di dalam dadanya itu. Namun sebelum ia sempat berkata sepatah katapun, Pangeran Sena Wasesa telah hilang di balik pintu.

“Oh” Raden Ajeng Ceplik mengeluh, “Apa yang akan kau katakan kepada ayahanda bibi”

Emban itu termangu-mangu sebentar. Namun kemudian Katanya, “Puteri. Agaknya tidak baik jika puteri berusaha untuk merahasiakan sesuatu terhadap ayahanda”

Raden Ajeng Ceplik menjadi bimbang. Kegelisahannya pun menjadi semakin mencengkam. Sementara itu embannya berkata lebih lanjut, “Ayahanda puteri adalah satu-satunya orang tua puteri sekarang ini. Ayahanda puteri adalah juga ibunda. Karena itu, biarlah aku berterus terang. Dengan demikian, maka ayahanda puteri akan dapat melihat persoalan yang terjadi atas diri puteri dengan benar. Jika pada suatu saat ayahanda puteri harus mengambil satu keputusan, maka keputusan itu diambil berdasarkan pada keterangan-keterangan yang sebenarnya. Dengan demikian jika terjadi kesalahan dalam keputusan itu, bukan puteri sendirilah yang harus memikul tanggung jawab”

Raden Ajeng Ceplik termangu-mangu. Ia masih tetap ragu-ragu. Namun yang dikatakan oleh embannya itu masuk juga di dalam nalarnya. Ia lebih baik berterus-terang kepada ayahanda-nya. Apapun yang akan terjadi, ayahandanya sudah dapat mengetahuinya. Bahkan seandainya tiba-tiba saja Pangeran Gajahnata menghubungi ayahnya, sebagaimana dikatakan oleh Bramadaru, maka ayahnya tidak akan terkejut.

Karena itu, maka katanya kemudian, “Terserah kepadamu bibi. Mana yang kau anggap lebih baik, maka kau dapat melakukannya”

“Tetapi bukankah sebaiknya aku mendapat ijin puteri” berkata embannya pula.

Raden Ajeng Ceplik itupun mengangguk kecil. Jawabnya, “Baiklah bibi. Kau dapat berterus terang kepada ayahanda. Tetapi kau tahu, bagaimana sebaiknya kau mengatakannya”

Demikianlah, maka emban itu pun kemudian meninggalkan bilik momongannya. Emban itu tahu, bahwa Pangeran Sena Wasesa akan menunggunya di ruang dalam.

Karena itu, maka emban itu pun menyusul Pangeran Sena Wasesa ke ruang dalam. Sambil berjongkok maka emban itu telah mendekati Pangeran Sena Wasesa yang duduk menyamping pintu yang terbuka.

“Emban, mendekatlah” desis Pangeran Sena Wasesa.

Emban itu pun bergeser semakin dekat. Ketika dengan tidak sengaja emban itu memandang wajah Pangeran Sena Wasesa, hati emban itu pun menjadi berdebar-debar. Wajah itu kelihatan suram dan kerut di dahi Pangeran Sena Wasesa itu nampaknya menjadi semakin dalam.

Karena itu, maka emban itu pun kemudian duduk bersimpuh sambil menunduk dalam-dalam.

“Emban” berkata Pangeran Sena Wasesa kemudian, “Aku melihat momonganmu menangis. Apakah kau mengetahui sebabnya, atau kau memang sedang memperbincangkan sesuatu yang membuatnya menangis?”

Emban itu menunduk semakin dalam. Dengan suara yang bagaikan tersangkut di kerongkongan emban itu menyahut, “Hamba Pangeran. Hamba memang sedang berbincang dengan puteri Ambarsari”

Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam. Ia hampir pasti bahwa puterinya telah lebih dahulu mendengar kehadiran seorang ibu tiri baginya dari orang lain. Bukan dari ayahandanya sendiri. Meskipun demikian Pangeran Sena Wasesa masih mencoba untuk dengan tenang bertanya, “Persoalan apakah yang kau bicarakan dengan Ceplik?”

Emban itu menjadi ragu-ragu. Namun sudah menjadi tekadnya untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi dengan momongannya. Karena itu, maka katanya kemudian, “Pangeran, perkenankanlah hamba menyampaikan persoalan puteri yang sebenarnya. Hamba telah mengatakan kepada puteri, bahwa hamba telah menyampaikan isi hati hamba justru karena hamba setia kepada puteri dan keluarga di istana ini”

“Apa yang kau katakan?” bertanya Pangeran Sena Wasesa tidak sabar.

“Gusti” emban itu bergeser setapak. Namun bagaimanapun juga emban itu menjadi gelisah juga, “beberapa saat yang lalu, Raden Bramadaru telah datang menemui puteri”

“Ya, aku tahu. Bahkan keduanya telah datang menghadap ketika aku sebenarnya hanya memanggil Ceplik saja” berkata Pangeran Sena Wasesa.

“Itulah Gusti” emban itu melanjutkan, “hamba menjadi gelisah karena hubungan puteri Ambarsari dengan Raden Bramadaru”

“Kenapa? Bukankah Bramadaru itu putera kakangmas Pangeran Gajahnata?” bertanya Pangeran Sena Wasesa.

“Hamba Gusti” jawab emban itu, “Tetapi masalahnya bukan karena Raden Bramadaru adalah putera Pangeran Gajahnata, Tetapi karena sifat dan tingkah laku Raden Bramadaru itu sendiri”

“Kenapa dengan Bramadaru?” bertanya Pangeran Sena Wasesa pula.

Emban itu pun akhirnya mengatakan juga, betapapun ia menjadi ragu. Seperti yang dikatakannya kepada Raden Ajeng Ceplik, maka semuanya itu dikatakannya pula kepada Pangeran Sena Wasesa.

“Gusti. Hamba tidak rela melepaskan momongan hamba ke tangan yang telah ternoda. Hamba sangat mencintai Raden Ajeng Ambarsari melampaui diri hamba sendiri” Suara emban itu tersendat-sendat. Bahkan titik-titik air telah merayap turun dari sudut mata emban yang setia itu.

Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam. Ada dua hal yang membuat hatinya justru mengendor. Ternyata masalah yang menyebabkan puterinya menangis bukanlah puterinya itu mendengar tentang kehadiran seorang ibu tiri dari orang lain. Yang kedua, dengan demikian ia akan dapat lebih berhati-hati menghadapi Bramadaru. Meskipun ia tidak boleh percaya begitu saja kepada laporan embannya yang hanya didasarkan kepada ceritera kawan-kawannya saja. Namun ia pun tidak boleh mengabaikan sama sekali keterangan embannya, yang seperti Raden Ajeng Ceplik, maka Pangeran Sena Wasesa pun percaya bahwa embannya itu memang berniat baik.

Karena itu, setelah Pangeran Sena Wasesa mengetahui bahwa yang dihadapi puterinya adalah persoalannya dengan Bramadaru, maka katanya kemudian, “Terima kasih emban. Aku akan memperhatikan keteranganmu. Sudah barang tentu, aku sebagai ayahnya tidak akan membiarkan anak gadisku satu-satunya itu terjerumus dalam kepahitan hidup dan kehilangan masa depannya”

“Segalanya terserah kepada kebijaksanaan Pangeran” berkata emban itu.

Pangeran Sena Wasesa pun kemudian mengijinkan emban itu meninggalkannya. Namun demikian, maka rencananya untuk memanggil anaknya itu pun telah diurungkan.

“Ceplik baru mengalami goncangan perasaan yang telah membuatnya bimbang dan bahkan kebingungan” berkata Pangeran Sena Wasesa kemudian, sehingga ia pun berniat untuk menundanya sampai hari berikutnya.

Karena itu, maka Pangeran Sena Wasesa pun telah memberitahukannya kepada Endang Srini dan orang-orang tua yang menjadi tamunya dan berada di gandok.

Dalam pada itu, ketika matahari menjadi semakin rendah di ujung Barat, Rahu yang dipanggil oleh Pangeran Sena Wasesa untuk membicarakan tentang pusaka dan harta benda yang telah diserahkan kepada Kangjeng Sultan di Demak, namun masih belum mendapatkan penyelesaian sampai tuntas itu telah mengusulkan agar persoalannya dipercepat.

“Jika harta benda dan pusaka itu masih belum diambil dan di masukkan ke dalam perbendaharaan istana, maka agaknya masih akan dapat menumbuhkan persoalan baru Pangeran” berkata Rahu yang untuk sementara masih juga mengawani para tamu Pangeran Sena Wasesa tinggal di istana itu, disamping petugas sandi itu akan dapat diajak berbincang tentang pusaka dan harta benda itu.

“Jadi, bagaimana sebaiknya menurut pendapatmu?” bertanya Pangeran Sena Wasesa.

“Pangeran menghadap Kangjeng Sultan dan mohon agar pusaka dan harta benda itu segera disimpan di dalam perbendaharaan istana. Jika belum, maka seakan-akan pusaka dan harta benda itu masih menjadi tanggungan Pangeran” jawab Rahu.

“Aku sependapat. Besok aku akan menghadap” berkata Kangjeng Sultan kemudian.

Adalah merupakan satu keputusan, bahwa benda-benda berharga itu harus segera dipindahkan ke perbendaharaan istana, agar tidak akan dapat menumbuhkan persoalan-persoalan baru yang tidak dikehendaki.

Dalam pada itu, ketika Rahu kemudian meninggalkan ruang dalam, di serambi ia melihat Raden Ajeng Ceplik duduk seorang diri merenungi halaman samping yang sejuk. Bunga-bunga yang kembang, bergoyang dihembus angin senja. Namun di serambi itu lampu masih belum dinyalakan.

Di seberang halaman, di serambi gandok seorang anak muda sedang melintas, kemudian masuk ke dalam gandok. Seorang anak muda yang sederhana, namun memiliki tekad untuk memanggul beban yang luhur di pundaknya.

“Apakah puteri sedang merenung” sapa Rahu perlahan-lahan.

Raden Ajeng Ceplik terkejut. Ketika ia berpaling, dilihatnya salah seorang tamu ayahnya berdiri di tangga serambi itu.

“O” Raden Ajeng Ceplik mengangguk hormat, “maaf Ki Sanak. Aku tidak melihat Ki Sanak”

“Aku baru saja menghadap ayahanda puteri” jawab Rahu, “Tetapi apakah yang sedang puteri perhatikan? Kawan-kawan kami di gandok itu?”

“O, tidak Ki Sanak. Aku sedang merenungi pohon-pohon bunga itu” jawab Raden Ajeng Ceplik.

“Tetapi puteri nampaknya murung hari ini” berkata Rahu, “Biasanya aku melihat puteri gembira setelah ayahanda kembali”

“Ah, bukankah saat ini aku juga gembira” sahut Raden Ajeng Ceplik.

Rahu mengangguk-angguk. Pada saat itu, anak muda yang memasuki gandok itu pun melangkah keluar pula. Di serambi gandok ia berhenti sejenak. Kemudian diluar sadarnya bahwa di serambi samping istana Rahu sedang bercakap-cakap dengan Raden Ajeng Ceplik, anak muda itu duduk di serambi gandok.

“Puteri” berkata Rahu, “Apakah puteri mengenal anak muda itu. Yang duduk di serambi gandok?”

Wajah puteri itu berkerut. Namun kemudian ia berkata, “Aku belum mengenal tamu ayahanda seorang demi seorang. Meskipun aku sering menghidangkan jamuan untuk mereka”

Rahu menarik nafas dalam-dalam. Satu dua orang lain nampak pula lewat di serambi. Bahkan Kiai Kanthi pun kemudian duduk pula disamping anak muda itu. Ketika keduanya bercakap-cakap, maka Rahu berkata, “Anak muda itu pernah datang ke istana ini bersamaku dan sekelompok orang-orang Sanggar gading untuk mengambil ayahanda puteri”

“O” Raden Ajeng Ceplik mengangguk-angguk. Katanya, “Ayahanda pernah juga berceritera. Tetapi ternyata bahwa kalian pulalah yang telah menolong ayahanda, karena sebenarnyalah kalian adalah petugas-petugas dari Demak. Kalian adalah petugas sandi”

Rahu tersenyum. Lalu katanya pula, “Apakah puteri ingat, bahwa ternyata beberapa orang telah kembali setelah ayahanda dibawa pergi oleh orang-orang Sanggar Gading itu?”

“Ya, aku ingat” jawab puteri itu. Namun terasa kulitnya menjadi meremang karenanya, “Mereka akan mengambil aku”

“Puteri ingat, siapakah yang menolong puteri waktu itu?” bertanya Rahu.

“Tidak jelas. Tetapi menurut ayahanda adalah kalian pula. Para petugas sandi” jawab puteri itu sambil menunduk.

“Diantara kami yang menyelamatkan puteri, adalah anak muda yang duduk di serambi itu” jawab Rahu.

“Aku mengucapkan terima kasih” desis puteri.

“O. Sudah beberapa kali puteri maupun ayahanda menyatakannya. Sebenarnya itu tidak perlu, karena itu adalah tugasku. Tetapi ada satu hal yang barangkali belum puteri ketahui tentang anak muda itu” berkata Rahu.

Tetapi Rahu ternyata keliru. Raden Ajeng Ceplik menjawab, “Ayahanda pernah mengatakan, bahwa anak muda itu adalah putera Pangeran Surya Sangkaya dan bergelar Candra Sangkaya. Tetapi anak muda itu telah memilih hidup di sebuah padukuhan kecil disebelah daerah Sepasang Bukit Mati”

“O” Rahu mengangguk-angguk. Katanya, “Ternyata ayahanda puteri telah banyak berceritera tentang kami”

“Tidak Ayahanda tidak banyak berceritera tentang tamu-tamunya. Tetapi yang paling banyak ayahanda ceriterakan adalah seorang gadis bernama Swasti dan seorang anak muda yang menyebut dirinya bernama Jlitheng. Anak muda yang sebenarnya adalah Raden Candra Sangkaya, yang sekarang telah menerima kemurahan hati Kangjeng Sultan untuk diperkenankan mempergunakan gelar Pangeran”

“O” Rahu mengangguk-angguk. Katanya di dalam hati, “Puteri telah banyak mengetahui tentang Jlitheng”

Dalam pada itu, maka Rahu pun kemudian minta diri untuk menemui kawan-kawannya di gandok itu.

Sepeninggal Rahu. Raden Ajeng Ceplik masih duduk di tempatnya. Diluar sadarnya dipandanginya anak muda yang berada di serambi gandok. Anak muda sederhana. Tidak mengenakan pakaian seperti para bangsawan. Tidak mengenakan pakaian seperti Bramadaru dan anak-anak muda bangsawan yang lain. Namun dalam kesederhanaannya anak muda itu memiliki sesuatu yang tidak dilihatnya pada Bramadaru.

“Tetapi dalam kesederhanaannya itu, ia menyandang gelar seorang Pangeran” berkata Raden Ajeng Ceplik di dalam hatinya.

Adalah diluar kehendaknya jika kemudian puteri itu telah memperhatikan anak muda yang bernama Jlitheng dan yang sebenarnya bergelar Pangeran Candra Sangkaya itu, meskipun belum mendapat kekancingan. Tetapi dihadapan banyak saksi Kangjeng Sultan telah menyatakan, bahwa Jlitheng mendapat gelar kehormatan seorang Pangeran.

Tetapi ketika dengan tidak sadar pula Jlitheng memandang kearah puteri itu, maka tiba-tiba puteri itu pun telah melemparkan pandangannya kekejauhan.

Namun tiba-tiba- saja terpandang olehnya dua orang lagi diantara para tamu ayahnya. Seorang gadis yang berjalan seiring dengan seorang perempuan. Raden Ajeng Ceplik mengenal nama keduanya, Swasti dan Endang Srini. Namun ia tidak banyak mengetahui tentang keduanya. Meskipun ayahandanya pernah mendorongnya untuk mencoba bergaul dengan gadis yang bernama Swasti itu. Gadis yang memiliki kemampuan olah kanuragan seperti seorang laki-laki.

Tetapi ada keseganan di hati Raden Ajeng Ceplik. Ia merasa terlalu bodoh dibandingkan dengan gadis itu. Ia hanyalah seorang gadis yang kerjanya sehari-hari merenung dan sedikit bekerja di dapur dan membersihkan bilik-bilik di dalam, istana itu. Itu pun dibantu oleh beberapa orang pelayan.

Ketika ia memperhatikan, bagaimana Swasti berjalan dan. bersikap maka hatinya menjadi semakin kecil. Gadis itu benar-benar menunjukkan keperkasaannya.

Sementara perempuan yang lebih tua itu pun tidak banyak dikenalnya pula. Ayahandanya tidak mengatakan sesuatu tentang perempuan itu kecuali namanya.

Namun Raden Ajeng Ceplik tidak menduga sama sekali, bahwa ayahandanya akan secara khusus memberitahukan kepadanya tentang perempuan yang bernama Endang Srini itu.

Raden Ajeng Ceplik menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian bangkit dan meninggalkan serambi itu ketika lampu kemudian dinyalakan.

Ketika Raden Ajeng Ceplik itu kemudian menyediakan makan malam ayahandanya, serta para tamunya maka ia masih saja membayangkan keperkasaan gadis yang bernama Swasti itu. Tetapi tiba-tiba lewat juga diangan-angannya seorang anak muda yang lain, Daruwerdi. Anak muda yang juga jarang disebut-sebut oleh ayahandanya, kecuali namanya.

Anak muda ini mempunyai ujud dan sikap yang berlainan dengan anak muda yang bernama Jlitheng, yang lebih sederhana, namun yang ternyata telah mendapat anugerah derajat Kapangeranan.

Bahkan ketika malam turun dan Raden Ajeng Ceplik telah berada di pembaringannya, ia masih saja memikirkan tamu-tamu ayahandanya, Jika sebelumnya ia tidak pernah berpikir tentang anak muda yang bernama Jlitheng itu, maka setelah Rahu bertanya kepadanya, apakah ia mengenal anak muda itu, ternyata ia justru mulai memperhatikannya.

Namun sekali-sekali muncul pula di dalam angan-angannya, saudara sepupunya, Bramadaru. Seorang anak muda periang, ramah dan sopan. Memang jauh berbeda dalam ujud lahiriahnya. Pakaian Bramadaru sudah menunjukkan bahwa ia adalah seorang bangsawan.

Dalam pada itu, Pangeran Sena Wasesa juga merenungi dirinya sendiri dan keadaan anak-anaknya. Ia sudah mengambil satu keputusan, bahwa ia akan mengatakan besok kepada anak gadisnya, bahwa ia mempunyai seorang ibu tiri dan seorang saudara laki-laki.

Demikianlah, maka di hari berikutnya, Pangeran Sena Wasesa telah bersiap-siap untuk memanggil puterinya. Sekali lagi dalam kegelisahan ia menyatakan maksudnya itu kepada Kiai Kanthi dan Ki Ajar Cinde Kuning. Ia pun telah mencari kesempatan untuk bertemu dengan Endang Srini.

“Aku memerlukan dukungan jiwani” berkata Pangeran Sena Wasesa.

Pangeran Sena Wasesa tidak mau terganggu lagi oleh kehadiran Bramadaru, meskipun ia tidak akan melarang anak muda itu tetap datang berkunjung setelah ia mendengar beberapa keterangan tentang dirinya, karena hal itu masih harus dibuktikan kebenarannya.

Ketika Raden Ajeng Ceplik sudah selesai dengan tugasnya, mengatur makan pagi bagi tamu-tamunya, maka dengan hati yang berdebar-debar, Pangeran Sena Wasesa telah memanggil puterinya ke ruang dalam.

Raden Ajeng Ceplik menjadi berdebar-debar pula. Yang terpikir olehnya, ayahnya tentu akan bertanya tentang Bramadaru, karena kemarin embannya tentu telah mengatakannya tentang hubungannya dengan anak muda itu. Tetapi seperti embannya mengatakan, maka puteri itu pun akan berkata terus terang tentang yang sebenarnya terjadi.

Untuk memulai dengan satu pembicaraan yang bersungguh-sungguh Pangeran Sena Wasesa ternyata memang bertanya tentang hubungan Raden Ajeng Ceplik dengan Bramadaru. Apakah Bramadaru memang sudah pernah menyatakan sesuatu kepadanya.

Raden Ajeng Ceplik sudah bertekad untuk berkata berterus terang. Karena itu, maka yang dikatakannya sama sekali tidak berbeda dengan yang dikatakan oleh embannya.

“Ceplik” berkata Pangeran Sena Wasesa kemudian, “Kau memang perlu berhati-hati. Kau tidak boleh percaya begitu saja dengan kata-kata embanmu. Meskipun embanmu berniat baik, tetapi mungkin emban itulah yang mendapatkan keterangan yang salah. Tetapi kau pun tidak boleh mengabaikan keterangan itu tanpa menghiraukannya, sama sekali”

Raden Ajeng Ceplik hanya menundukkan kepalanya saja.

“Kau sudah cukup dewasa” berkata Pangeran Sena Wasesa kemudian. Lalu, “Kau sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Namun karena kau mempunyai orang tua, maka segala sesuatunya harus dibicarakan dengan orang tua”

Raden Ajeng Ceplik masih tetap menunduk. Namun ia mendapat kesan bahwa sebenarnya ayahandanya tidak menolak seandainya ia sendiri menerima Bramadaru itu hadir di dalam perjalanan hidupnya.

Meskipun demikian Raden Ajeng Ceplik tiba-tiba saja berkata dalam nada yang dalam, “Ayahanda, sebenarnya aku masih harus berpikir beberapa kali. Kehadiran kakangmas Bramadaru selama ini aku terima tidak lebih sebagai saudaraku sendiri. Ketika tiba-tiba ia menyatakan isi hatinya, maka aku sama sekali belum siap untuk menjawabnya”

“Bagus Ceplik” jawab Pangeran Sana Wasesa, “Kau memang harus membuat pertimbangan sebaik-baiknya. Sementara itu aku pun tidak akan tinggal diam. Aku ingin mendengar dari beberapa pihak tentang kehidupan Bramadaru yang sebenarnya”

Kembali Raden Ajeng Ceplik menundukkan kepalanya. Namun dalam pada itu, rasa-rasanya hubungan yang sungguh-sungguh antara Pangeran Sena Wasesa dan puterinya sudah terjalin. Karena itu, maka Pangeran Sena Wasesa pun kemudian ingin mulai dengan persoalan yang sebenarnya. Meskipun hatinya menjadi berdebar-debar, namun akhirnya ia pun berkata, “Ceplik Sebenarnya ada masalah yang sangat penting yang ingin aku bicarakan. Sama pentingnya dengan usahamu untuk menilai kakangmasmu Bramadaru”

Raden Ajeng Ceplik menjadi berdebar-debar. Apalagi yang akan dikatakan oleh ayahandanya.

Semula hatinya sudah menjadi mapan ketika ia sudah bertekad untuk berkata berterus terang seperti yang dilakukan oleh embannya. Tetapi tiba-tiba saja masih ada persoalan lain yang tidak kalah pentingnya dengan persoalannya yang membuatnya gelisah itu.

Dalam pada itu, maka dengan hati-hati Pangeran Sena Wasesa mulai berbicara tentang dirinya sendiri. Tentang keluarganya dan kemudian tentang Raden Ajeng Ceplik itu sendiri.

Raden Ajeng Ceplik menjadi gelisah. Ia tidak mengerti kenapa ayahnya telah menceriterakan tentang beberapa hal yang sudah diketahuinya. Namun, justru dengan demikian Raden Ajeng Ceplik itu menjadi semakin gelisah.

“Ceplik” berkata Pangeran Sena Wasesa selanjutnya seperti yang aku katakan tadi, bahwa kau agaknya memang sudah dewasa. Kau sudah dapat menimbang satu persoalan dari beberapa segi. Mungkin kau harus merenunginya untuk satu dua hari. Namun kadang-kadang seseorang harus menerima satu kenyataan yang sudah tidak dapat dirubah lagi”

Raden Ajeng Ceplik menjadi bertambah gelisah. Sementara itu ayahanda berkata selanjutnya, “Ceplik ada hal yang dapat kita bicarakan, ada yang dapat kita rencanakan, ada yang dapat kita tolak. Tetapi kadang-kadang kita dihadapkan pada satu hal yang hanya dapat kita terima sebagai satu kenyataan”

Denyut jantung Raden Ajeng Ceplik serasa menjadi semakin cepat.

Dalam pada itu Pangeran Sena Wasesa pun kemudian berkata, “Ceplik. Aku ingin, berkata berterus terang kepadamu. Yang kau ketahui tentang ayahandamu seperti yang aku katakan tadi, adalah kurang lengkap. Sekarang, sesudah kau dewasa, maka kau perlu mengetahui serba sedikit tentang ayahandamu sebelum kau dilahirkan”

Wajah Raden Ajeng Ceplik menjadi tegang. Sementara itu, maka Pangeran Sena Wasesa pun kemudian telah menceriterakan apa yang pernah dialami dan dilakukannya sebelum Pangeran Sena Wasesa kawin dengan ibunda Raden Ajeng Ceplik.

Dengan suara sendat, akhirnya Pangeran itu berkata, “Jelasnya anakku, kau bukanlah anak tunggal. Kau memang satu-satunya anak yang dilahirkan oleh ibumu. Tetapi seperti yang aku katakan, aku tidak dapat menentang peristiwa yang memang sudah terjadi. Aku berharap bahwa kau pun akan dapat menerima persoalan ini dengan sikap dewasa”

Wajah Raden Ajeng Ceplik menjadi merah padam. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa sebelum ayahandanya kawin dengan ibundanya, ayahandanya itu sudah mempunyai seorang isteri, dan bahkan menurut pengakuan ayahanda itu, dalam perkawinan itu telah lahir seorang anak laki-laki.

Betapa dada Raden Ajeng Ceplik bagaikan retak. Ia tidak menyangka bahwa kehidupan yang manis antara ayahandanya dan ibundanya di saat masih hidup, sebenarnya adalah kehidupan semu, karena cinta kasih ayahandanya kepada ibundanya telah ternoda. Telah ada perempuan lain yang pernah tinggal di hati ayahandanya itu, justru sebelum ayahandanya kawin dengan ibundanya.

Sejenak Raden Ajeng Ceplik itu terdiam. Namun ternyata puteri itu tidak lagi dapat menahan hatinya. Tiba-tiba saja tangisnya telah meledak.

“Ceplik” ayahandanya menjadi berdebar-debar. Didekatinya anak gadisnya yang menangis itu. Kemudian sambil membelai rambutnya ia berkata, “Itu sudah terjadi sejak lama Ceplik. Kau dapat menanggapinya dengan sikap dewasamu. Kau tidak dapat berbuat apa-apa tentang kenyataan ini kecuali menerimanya sebagai satu hal yang telah terjadi. Yang perlu kau ketahui Ceplik, ibundamu telah mengetahui hal ini. Ibundamu dapat menerimanya dengan hati yang lapang karena segala sesuatunya kami bicarakan dengan sebaik-baiknya pada saat itu”

Raden Ajeng Ceplik masih saja menangis. Ia belum pernah mendengar hal itu dari ibundanya. Dengan nalar dewasanya Raden Ajeng Ceplik menyadari, bahwa ibundanya tentu tidak akan pernah mengatakannya hal itu. Bahkan seandainya sekarang ibundanya itu masih ada.

“Baiklah aku minta maaf kepadamu” berkata Pangeran Sena Wasesa, tetapi kenyataan ini tidak akan dapat dihapuskan. Hal ini sudah terjadi. Kita memang dapat menyesali langkah-langkah yang pernah kita buat dalam kehidupan ini. Tetapi penyesalan itu pun harus kita imbangi dengan penalaran. Pada suatu saat, maka kita harus terhenti pada satu sikap yang paling wajar menghadapi kenyataan itu sendiri”

Raden Ajeng Ceplik masih tetap berdiam diri. Tangisnya masih menekan di dadanya. Isaknya bagaikan membuat nafasnya tersendat-sendat.

Tetapi setiap kali ia mendengar ayahandanya berkata, “Semuanya itu sudah terjadi Ceplik”

Raden Ajeng Ceplik menarik nafas dalam-dalam ketika nafasnya terasa bagaikan tersumbat.

Ketika isak puteri itu mulai mereda, maka Pangeran Sena Wasesa pun telah mengatakan pula, bahwa perempuan yang dikatakan itu, kini telah berada di istana itu pula.

“Ia tidak akan menggantikan kedudukan ibundamu. Tetapi ia akan dapat membantumu apabila kau perlukan. Perempuan itu dengan rendah hati merasa, bahwa ia adalah seorang perempuan padukuhan yang tidak sepatutnya untuk berada di lingkungan para bangsawan. Namun apabila kau dapat menerimanya, maka ia akan sangat berterima kasih” berkata Pangeran Sena Wasesa, “namun dalam pada itu, betapapun juga rendah martabatnya, ia telah memperanakkan seorang anak laki-laki. Anak itu adalah anakku. Dengan demikian maka ia adalah saudaramu. Saudaramu yang lahir lebih dahulu dari padamu, sehingga dengan demikian ia adalah saudara tuamu”

Raden Ajeng Ceplik masih terisak. Kenyataan itu terlalu berat membebani perasaannya. Nalarnya memang dapat mengatakan sebagaimana dikatakan oleh ayahandanya. Kenyataan itu sudah terjadi sehingga ia tidak akan mampu menolaknya. Tetapi ia tidak dapat memaksa perasaannya untuk segera menerima hal itu dengan ikhlas. Karena itu, maka terasa betapa didadanya telah terjadi gejolak yang menyesakkan.

Pangeran Sena Wasesa pun menjadi gelisah melihat sikap puterinya. Karena itu, untuk memberikan gambaran tentang perempuan yang dikatakannya, tentang sifat dan wataknya, maka Pangeran Sena Wasesa telah berceritera banyak. Bahkan kemudian Pangeran Sena Wasesa pun telah menceriterakan pula tentang seluruh persoalan yang dihadapinya termasuk pusaka dan harta benda yang telah diserahkannya kepada Kangjeng Sultan.

“Ceplik, tanpa perempuan itu, aku sekarang masih dibebani oleh ketamakan itu. Aku masih dicengkam oleh kenistaan karena aku telah menyembunyikan barang-barang yang bukan milikku. Sekarang, semuanya itu telah terlepas dari tanggung jawabku. Semuanya sudah kembali kepada Kangjeng Sultan telah membebaskan aku dari segala tuntutan” suara Pangeran Sena Wasesa menjadi sendat.

Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Justru karena pengakuan itu, perasaan Raden Ajeng Ceplik menjadi semakin terluka. Selama itu ia menyangka bahwa ayahandanya adalah orang yang terbaik yang dikenalnya. Orang yang bersih dan tidak bercacat. Namun tiba-tiba puteri itu langsung dihadapkan kepada dua cacat sekaligus. Bahwa ayahandanya telah menodai cintanya kepada ibundanya, sedangkan yang lain, ternyata pernah menyembunyikan harta benda yang bukan miliknya.

Karena itu, maka tiba-tiba tangis puteri itu pun justru semakin menyesakkan dadanya.

Pangeran Sena Wasesa menjadi bingung menghadapi puterinya. Karena itu maka untuk beberapa saat ia pun hanya duduk merenungi puterinya yang sedang terisak.

Namun akhirnya Pangeran Sena Wasesa itu telah memanggil emban pemomong Raden Ajeng Ceplik. Ketika emban itu memasuki ruangan itu, tiba-tiba saja Raden Ajeng Ceplik telah memeluknya, sementara tangisnya telah melonjak.

“Puteri” desis embannya itu, “Sudahlah. Jangan menangis seperti itu”

Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam. Kemudian Katanya, “Emban, mendekatlah. Kau adalah pemomong Ambarsari sejak ia masih kanak-kanak. Karena itu, maka kau sudah aku anggap keluarga sendiri. Cobalah, kau bantu aku menjernihkan hati puteriku”

Emban itu pun mengangguk hormat sambil menyembah. Dengan cemas ia bertanya, “Ampun Pangeran, apakah hamba diperkenankan untuk mengetahui apakah sebabnya, maka puteri Ambarsari telah mengalami kepedihan hati seperti ini. Apakah persoalan seperti yang hamba sampaikan kepada Pangeran kemarin atau persoalan yang lain?”

Pangeran Sena Wasesa pun kemudian dengan terus terang menceriterakan tentang hadirnya seorang perempuan dan anak laki-laki yang sebenarnya adalah isteri dan anaknya.

“Emban” berkata Pangeran Sena Wasesa, “Aku kira kau tentu sudah mengetahuinya atau setidak-tidaknya mendengarnya. Kau sudah mengabdi di istana ini berpuluh tahun yang lalu. Meskipun barangkali kau belum pernah bertemu dengan perempuan itu, tetapi pada saat aku kawin dengan ibunda Ambarsari, kau tentu mendengar apa yang sebenarnya pernah terjadi dengan diriku waktu itu”

Emban itu menarik nafas dalam-dalam. Persoalannya ternyata bukan persoalan yang menyangkut Raden Bramadaru. Tetapi menyangkut persoalan yang sudah lama sekali terjadi pada Pangeran Sena Wasesa itu sendiri.

Demikianlah, maka emban itu pun kemudian telah membimbing puteri Ambarsari itu meninggalkan ruang dalam. Dengan lembut emban itu berusaha untuk menenangkan hati momongannya.

Namun hati puteri itu telah terluka. Puteri yang sehari-harinya dipanggil Raden Ajeng Ceplik itu merasa betapa sakitnya setelah ia membentur pada satu kenyataan tentang ayahandanya. Ternyata ayahandanya bukan seorang yang bersih seperti kapas sebagaimana di sangkanya. Ternyata hati ayahandanya sudah ternoda. Cintanya ternoda dan ketulusannya mengabdi kepada Demak juga telah ternoda.

“Noda itu tidak akan dapat dibersihkan dengan cara apapun juga” berkata Puteri itu di dalam hatinya.

Dalam pada itu, embannya telah menungguinya sambil berusaha untuk menghiburnya. Namun Raden Ajeng Ceplik itu justru berkata, “Kau ternyata tidak pernah bersikap jujur kepadaku emban. Kenapa kau tidak pernah mengatakan serba sedikit tentang ayahanda yang sebenarnya. Kau tidak pernah menyebut nama seorang perempuan yang pernah menjadi isteri ayahanda itu sebelum ayahanda kawin dengan ibunda”

“Puteri” jawab embannya, “Bukan maksud hamba untuk tidak jujur terhadap puteri. Tetapi menurut hamba hal itu sama sekali tidak perlu puteri ketahui untuk seterusnya, persoalan itu tidak akan terungkapkan. Namun ternyata dugaan itu salah. Pada suatu saat hal itu telah puteri ketahui”

“Ayahanda sendiri yang telah memberitahukannya” jawab Raden Ajeng Ceplik disela-sela tangisnya.

“Puteri, jika ayahanda mengatakannya, maka aku kira maksud ayahanda adalah justru untuk bersikap sejujur-jujurnya terhadap puteri. Ayahanda tidak akan menyembunyikan sesuatu lagi. Mungkin hal itu juga disebabkan karena ibunda puteri telah tidak ada lagi” jawab emban itu.

Namun tangis Raden Ajeng Ceplik itu tidak mereda. Sakit di hatinya justru terasa semakin pedih.

Dengan telaten emban itu berusaha untuk selalu menghiburnya dengan berbagai macam cara. Bagaimanapun juga emban itu merasa wajib untuk berusaha menenangkannya.

Dalam pada itu, maka Pangeran Sena Wasesa telah menemui Kiai Kanthi dan Ki Ajar Cinde Kuning. Dengan wajah yang muram ia menceriterakan keadaan puterinya. Bahkan ternyata kemudian sehari penuh puteri itu tidak keluar dari dalam biliknya. Menangis.

“Apakah Kiai dapat membantu?” bertanya Pangeran Sena Wasesa.

Ki Ajar Cinde Kuning dan Kiai Kanthi tidak dapat berbuat lain kecuali mencobanya. Ketika senja turun, maka keduanya telah menghadap puteri Ambarsari di dalam biliknya diantar oleh Pangeran Sena Wasesa sendiri.

“Ceplik” berkata Pangeran Sena Wasesa, “cobalah kau tahan perasaanmu sedikit. Lihat, dua orang tamu kita datang untuk menengokmu”

Bagaimanapun juga kehadiran orang lain itu berpengaruh juga kepada tangis Raden Ajeng Ceplik. Dengan susah payah Raden Ajeng Ceplik berusaha menahan tangisnya. Namun dengan demikian, nafasnya justru terasa menjadi sesak.

Dengan hati-hati kedua orang tua itu mencoba memberikan nasehat-nasehatnya, Mereka kadang-kadang mengambil kias dan perlambang. Kadang-kadang mereka memberikan secara wantah contoh-contoh tentang kehidupan dan kenyataan. Kedua orang tua itu memberikan arah tentang keseimbangan antara penalaran dan perasaan.

Namun dalam pada itu, keduanya pun mengerti, betapa pedihnya perasaan Raden Ajeng Ceplik itu menerima satu kenyataan yang sangat pahit. Umurnya yang sedang menginjak dewasa bagi seorang gadis merupakan umur yang paling sulit. Gejolak jiwani yang terjadi pada umur-umur seperti Raden Ajeng Ceplik merupakan masa-masa yang paling mudah tersentuh.

Meskipun demikian, nampaknya nasehat kedua orang itu meredakan gejolak perasaan Raden Ajeng Ceplik. Tangisnya pun mereda dan isaknya tidak lagi menyesakkan pernafasannya.

“Beristirahatlah puteri” berkata Ki Ajar Cinde Kuning, “puteri perlu ketenangan berpikir. Mudah-mudahan dalam ketenangan itu puteri mampu menerawang gejala dari kehidupan ini”

Raden Ajeng Ceplik itu mengangguk. Sementara itu Kiai Kanthi pun, berkata, “Puteri. Kadang-kadang kita memang sulit untuk menerima satu kenyataan. Bahkan kadang-kadang kita tidak mengerti, kenapa hal itu harus terjadi, justru atas diri kita. Dalam keadaan yang paling sulit dan gelap maka puteri dapat lebih mendekatkan diri kepada Yang Maha Tahu. Dengan demikian maka semoga puteri mendapat terang daripadanya”

Raden Ajeng Ceplik tidak menjawab. Tetapi kepalanya menjadi semakin tertunduk Sekali-sekali tangannya masih mengusap matanya yang basah. Sementara itu embannya yang setia duduk bersimpuh di sudut ruangan.

Sebagaimana sehari Raden Ajeng Ceplik tidak keluar dari ruangan itu, maka embannya pun tidak beranjak pula dari bilik itu.

Ketika keadaan Raden Ajeng Ceplik nampaknya sudah menjadi agak tenang, maka Ki Ajar Cinde Kuning dan Kiai Kanthi pun telah mohon diri kembali ke gandok.

“Mungkin aku masih akan minta tolong lagi” berkata Pangeran Sena Wasesa ketika mereka berada di serambi.

“Yang dapat kami lakukan adalah sekedar memberikan petunjuk dan pitutur” jawab Ki Ajar Cinde Kuning.

Demikianlah, malam itu Raden Ajeng Ceplik tidak menangis. Tetapi puteri itu sama sekali tidak mau makan. Setelah embannya mengantarkannya ke pakiwan, maka puteri itu pun segera membaringkan dirinya di pembaringan.

Meskipun nampaknya puteri itu memejamkan matanya, tetapi sebenarnyalah ia tidak tidur. Angan-angannya sedang menjelajahi segi-segi kehidupan yang sedang dijalaninya. Ia memang mencoba mempergunakan nalarnya sebagaimana di katakan oleh kedua orang tua itu. Namun ternyata bahwa yang dilakukan oleh Raden Ajeng Ceplik bukannya yang dimaksud oleh kedua orang tua itu.

Raden Ajeng Ceplik memang berniat melihat hadirnya seorang perempuan yang ternyata adalah isteri ayahandanya dan seorang anak laki-lakinya yang juga saudara tuanya sebagai Satu kenyataan. Puteri itu pun kemudian sadar, bahwa ia memang tidak dapat menolaknya. Perempuan dengan saudara laki-lakinya yang sebelumnya belum dikenalnya itu biarlah tinggal di istana itu bersama dengan ayahnya.

Namun langkah yang dipilih oleh Raden Ajeng Ceplik itulah yang lain dengan yang dikehendaki oleh ayahnya maupun orang-orang tua yang telah menasehatinya. Ternyata Raden. Ajeng Ceplik itu telah mempertimbangkan, lebih baik dirinya sendiri sajalah yang meninggalkan istana itu.

Tetapi yang masih menjadi pertanyaan adalah, “Kemana?”

Raden Ajeng Ceplik tidak mempunyai sanak kadang yang dikenalnya tinggal di Kota Raja. Mereka adalah para bangsawan termasuk Raden Bramadaru.

Hampir semalam Raden Ajeng Ceplik menimbang-nimbang apa yang sebaiknya dilakukan. Namun ketika menjelang dini hari. tubuh Raden Ajeng Ceplik menjadi sangat letih. Tanpa disadarinya, maka Raden Ajeng Ceplik itu pun kemudian telah tertidur. Di lantai, pada sehelai tikar, embannya pun telah tertidur pula. Agaknya emban itu pun merasa terlalu letih badan dan jiwanya.

Pagi-pagi Raden Ajeng Ceplik sudah terbangun. Emban itu mengantarkannya ke pakiwan. Kemudian menungguinya lagi di dalam bilik. Raden Ajeng Ceplik pagi itu tidak menjamu tamu-tamunya seperti biasanya. Ia masih tetap berada di dalam biliknya. Bahkan makan paginya pun telah dibawa ke dalam bilik itu pula. Namun Raden Ajeng Ceplik hanya makan terlalu sedikit.

Pangeran Sena Wasesa dan embannya menjadi cemas melihat keadaan gadis itu. Tetapi Pangeran Sena Wasesa tidak mengatakannya kepada Endang Srini. Ia hanya mengatakan bahwa Raden Ajeng Ceplik nampak terkejut. Karena itu, maka ia memerlukan ketenangan di dalam biliknya.

“Pangeran” berkata Endang Srini, “Jika puteri tidak bersedia menerima aku, aku sama sekali tidak akan merasa sakit hati. Aku dapat berada dimana saja. Aku tidak akan memohon apa-apa yang tidak masuk akal. Semua yang terjadi telah aku terima dengan ikhlas”

“Tidak Srini” jawab Pangeran Sena Wasesa, “pada saatnya anakku itu akan menjadi tenang. Kemarin Kiai Kanthi dan Ki Ajar Cinde Kuning telah menasehatinya. Agaknya anakku dapat mengerti sehingga mudah-mudahan untuk selanjutnya tidak ada persoalan lagi”

Endang Srini tidak menjawab. Tetapi kegelisahan hati Raden Ajeng Ceplik rasa.-rasanya dapat dirasakannya pula. Apalagi karena Raden Ajeng Ceplik selalu berada di dalam biliknya saja.

Dalam pada itu, ketika matahari naik ke langit, menjelang tengah hari, maka Raden Bramadaru telah mengunjungi istana Pangeran Sena Wasesa. Ia terkejut ketika seorang abdi mengatakan bahwa Raden Ajeng Ceplik nampaknya sedang sakit, karena ia selalu berada di dalam biliknya.

“Katakan, bahwa aku ingin bertemu” berkata Raden Bramadaru.

Abdi itu pun kemudian memberanikan diri menemui emban pemomong Raden Ajeng Srini dan mengatakan bahwa Raden Bramadaru ingin bertemu dengan Raden Ajeng Srini.

Emban itu termangu-mangu sejenak. Ia sendiri tidak begitu senang terhadap Raden Bramadaru karena ia sudah mendengar serba sedikit tentang anak muda itu.

Namun, akhirnya emban itu mempertimbangkan keadaan Raden Ajeng Ceplik yang sedang dibayangi oleh kegelisahan. Mungkin kehadiran Raden Bramadaru dapat membuat puteri itu agak tenang dan dapat menilai keadaan dengan lebih wajar.

“Tentang hubungannya dengan Raden Bramadaru, pada saat lain aku masih mempunyai kesempatan untuk memberikan beberapa pendapat” berkata emban itu di dalam hatinya.

Karena itu, maka emban itu pun tidak memberitahukan kepada Raden Ajeng Ceplik bahwa Raden Bramadaru ingin menemuinya seperti yang sudah sering dilakukannya.

Namun sikap Raden Ajeng Ceplik mengejutkan. Dengan serta merta puteri itu pun membenahi pakaiannya. Kemudian mengusap matanya yang basah dan dengan tergesa-gesa keluar ke serambi.

“Diajeng” Raden Bramadaru terkejut, “Apakah kau sakit?”

Raden Ajeng Ceplik mencoba untuk tersenyum. Namun senyumnya terasa sangat hambar.

“Aku tidak apa-apa kakangmas” jawab Raden Ajeng Ceplik.

Raden Bramadaru menjadi berdebar-debar. Seperti Raden Ajeng Ceplik sendiri ketika ia dipanggil ayahandanya, maka persoalan yang pertama-tama terbersit di hati Bramadaru adalah persoalan hubungannya dengan puteri itu.

Karena itu maka dengan ragu-ragu Raden Bramadaru bertanya, “Apakah yang sebenarnya terjadi diajeng. Seorang abdi istana ini mengatakan bahwa kau sedang sakit. Tetapi aku kira kau tidak sedang sakit. Tetapi ada sesuatu yang membuatmu gelisah dan cemas. Apakah pamanda Pangeran Sena Wasesa mempersoalkan hubungan kita?”

“Tidak kakangmas, tidak” jawab Raden Ajeng Ceplik dengan serta merta, “ayahanda sama sekali tidak berkeberatan terhadap kunjungan kakangmas Bramadaru, Ayahanda pun tidak mempersoalkannya”

“Tetapi apakah sebenarnya yang telah terjadi atas dirimu?” bertanya Raden Bramadaru.

Raden Ajeng Ceplik tidak segera menjawab. Tetapi ia pun kemudian bangkit sambil berkata, “Aku ambilkan minuman hangat untuk kakangmas”

Raden Bramadaru tidak mencegahnya. Namun ketika Raden Ajeng Ceplik meninggalkannya, ia mulai merenungi keadaan gadis itu. Tentu ada satu masalah yang pelik telah mengganggu perasaan gadis itu.

Sejenak kemudian Raden Ajeng Ceplik telah kembali sambil membawa semangkuk minuman panas.

Ketika Raden Ajeng Ceplik duduk kembali di serambi itu, maka Bramadaru pun telah bertanya sekali lagi, kenapa Raden Ajeng Ceplik nampak seperti orang sakit.

“Agaknya kau telah menangis semalam-malaman” bertanya Bramadaru, “wajahmu nampak letih dan kuyu”

Raden Ajeng Ceplik menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Aku memang menangis. Tetapi kemarin. Semalam aku tidak sempat tidur oleh kegelisahan”

“Kenapa diajeng? Apakah pamanda Pangeran marah? Atau oleh sebab lain?” bertanya Bramadaru.

Raden Ajeng Ceplik menundukkan kepalanya. Teringat juga keterangan yang diberikan oleh embannya tentang Bramadaru. Namun kesan itu sama sekali tidak dilihatnya. Bramadaru adalah seorang anak muda yang ramah, gembira dan sopan. Apalagi ia adalah saudara sepupunya, sehingga menurut pendapat Raden Ajeng Ceplik, Bramadaru bukan seorang laki-laki yang perlu dijauhi.

Apalagi karena kejengkelan Raden Ajeng Ceplik kepada embannya, yang sama sekali tidak pernah mengatakan sesuatu tentang ayahandanya yang telah pernah kawin sebelum mengawini ibundanya. Dan perempuan itu kini ternyata telah berada di istana itu.

Dalam pada itu, Pangeran Sena Wasesa yang melihat puterinya telah keluar dari biliknya dan berada di serambi menemui Bramadaru, hatinya agak menjadi tenang. Meskipun anak gadisnya harus berhati-hati menghadapi Bramadaru, namun jika Bramadaru dapat menjernihkan hati puterinya, maka kehadirannya di istana itu akan diterimanya dengan pernyataan terima kasih.

Sementara itu, Raden Ajeng Ceplik sendiri masih saja dicengkam keragu-raguan untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi atas dirinya. Ia sadar, bahwa persoalan itu adalah persoalan keluarganya. Persoalan yang tidak perlu di katakan kepada orang lain diluar lingkungan keluarganya sendiri.

Namun Bramadaru yang sudah terlalu sering datang kepadanya, juga pada saat-saat ayahandanya hilang dan dirinya merasa sendiri, rasa-rasanya anak muda itu sudah menjadi keluarganya pula. Bahkan Bramadaru akan dapat menjadi tempat ia mengadukan nasibnya serta minta pertimbangannya untuk memecahkan persoalan yang telah menimbulkan goncangan perasaannya itu.

Untuk beberapa saat Raden Ajeng Ceplik masih tetap berdiam diri Namun di dalam dadanya telah terjadi gejolak-gejolak yang membuat nafasnya menjadi sesak. Bahkan semakin lama persoalan itu mulai menusuk kembali seperti tajamnya sembilu di ulu hatinya.

“Apakah persoalanmu harus kau rahasiakan diajeng?” tiba-tiba saja Bramadaru bertanya.

Pertanyaan itu mengejutkan Raden Ajeng Ceplik. Bahkan seolah-olah telah memancing kepahitan yang disembunyikannya untuk beberapa saat. Sehingga karena itu, maka diluar sadarnya, maka matanya telah menjadi basah.

Namun akhirnya, Raden Ajeng Ceplik yang sudah sangat biasa bergaul dengan Bramadaru tidak lagi dapat mempertahankan desakan di dalam dadanya untuk mendapatkan tempat yang dapat menampung beban yang terasa terlampau berat untuk dipikulnya sendiri.

Dengan demikian, maka sambil menitikkan air mata, Raden Ajeng Ceplik itu pun mulai berbicara tentang keadaan dirinya. Perlahan-lahan agar embannya yang selalu mengawasinya itu tidak mendengarkannya.

Bramadaru mendengarkan keluhan Raden Ajeng Ceplik itu dengan sungguh-sungguh. Dari kata-kata yang pertama mengalir beruntun disela-sela isaknya yang mulai menyesakkan dadanya.

Bramadaru menjadi-berdebar mendengarkan keluhan Raden Ajeng Ceplik. Semula ia menjadi kasihan juga kepada gadis itu. Gadis yang dikenalnya dengan baik, dan bahkan adik sepupunya. Terlebih-lebih lagi, ia pernah menyatakan bahwa ia ingin mempertautkan hidupnya dengan gadis itu, meskipun bagi Bramadaru hal itu sekedar merupakan salah satu tugas yang dibebankan oleh gurunya.

Tetapi lambat laun, perasaan Bramadaru itu telah berubah. Ia tidak saja merasa kasihan kepada Raden Ajeng Ceplik tetapi ia sendiri menjadi gelisah. Ternyata Raden Ajeng Ceplik bukan anak satu-satunya Pangeran Sena Wasesa. Bahkan Raden Ajeng Ceplik mempunyai seorang saudara laki-laki yang justru lahir lebih dahulu dari Raden Ajeng Ceplik itu sendiri.

Dengan cepat Bramadaru menghubungkan persoalan itu dengan persoalannya sendiri. Jika ia memilih Raden Ajeng Ceplik dari antara segala gadis yang dikenalnya, persoalannya adalah terletak kepada kemungkinan untuk mendapatkan seluruh warisan Pangeran Sena Wasesa. Termasuk harta benda dan pusaka yang sedang diperebutkan oleh banyak pihak. Bahkan telah merampas korban jiwa yang tidak terhitung jumlahnya, karena gurunya telah menceriterakan, bagaimana kelompok-kelompok yang ingin memiliki harta benda yang tidak ternilai harganya itu saling berbenturan dan saling menghancurkan.

Karena itu, maka di dalam, dada Bramadaru sendiri telah terjadi pergolakan, sehingga perhatiannya terhadap persoalan Raden Ajeng Ceplik pun telah berkurang.

Meskipun demikian, ternyata bahwa Bramadaru adalah seorang yang memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri. Bagaimanapun juga kegelisahan itu terjadi pada dirinya sendiri, namun ia berhasil memaksa dirinya untuk tetap seolah-olah memperhatikan semua yang dikatakan oleh Raden Ajeng Ceplik meskipun sudah tidak menarik lagi baginya.

Bramadaru menarik nafas dalam-dalam ketika Raden Ajeng Ceplik mengakhiri ceriteranya. Bahkan sambil terisak Raden Ajeng itu berkata, “Kenyataan itu terlalu pahit bagiku kakangmas”,

Bramadaru mengangguk-angguk. Sesaat kemudian ia pun berdesis, “Ya diajeng. Aku dapat merasakan, betapa pahitnya kenyataan yang harus diajeng hadapi. Tetapi yang aku kurang mengerti, kenapa hal itu masih dilakukan oleh pamanda Sena Wasesa. Sebenarnya pamanda dapat melupakannya karena persoalan itu sebenarnya telah dapat dianggap selesai beberapa belas tahun yang lalu.

Raden Ajeng Ceplik mengangguk. Katanya, “Agaknya memang demikian. Seandainya ayahanda tidak bertemu lagi dengan perempuan itu, maka agaknya ayahanda tidak akan terkenang lagi peristiwa yang telah terjadi itu”

“Dimana pamanda bertemu lagi dengan perempuan itu?” bertanya Bramadaru.

“Di perjalanan, pada saat ayahanda diambil orang” jawab Raden Ajeng Ceplik.

Bramadaru mengangguk-angguk. Namun hatinya bergejolak. Meskipun anak laki-laki pamannya itu lahir dari seorang ibu yang derajadnya tidak sama dengan derajad ibu Raden Ajeng Ceplik, namun anak itu tentu berhak pula untuk menerima warisan.

“Anak itu akan dapat menjadi penghalang” berkata Bramadaru di dalam batinnya.

Sesaat Bramadaru itu termenung. Menurut dugaan Raden Ajeng Ceplik, Bramadaru telah ikut merasakan kepahitan kenyataan yang harus diterimanya itu. Namun, sebenarnyalah Bramadaru sedang memikirkan kehadiran orang lain yang ternyata juga berhak atas warisan Pangeran Sena Wasesa.

“Tetapi anak itu akan dapat dibunuh saja” berkata Bramadaru di dalam hatinya.

Dalam pada itu, Raden Bramadaru terkejut ketika Raden Ajeng Ceplik bertanya, “Bagaimana menurut pendapatmu kakangmas?”

Bramadaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi karena persoalan itu harus dihadapinya dengan sungguh-sungguh maka Katanya, “Diajeng, persoalanmu memang terlalu rumit”

“Bagaimana pendapat kakangmas jika aku meninggalkan istana ini saja?” bertanya Raden Ajeng Ceplik.

Sekali lagi Bramadaru terkejut. Jika Raden Ajeng Ceplik itu pergi, maka ada beberapa kemungkinan. Tetapi salah satu kemungkinan adalah, bahwa Pangeran Sena Wasesa justru tidak mencarinya, sehingga dengan demikian, .maka warisan itu seluruhnya akan jatuh ke tangan anak laki-laki Pangeran Sena Wasesa.

Karena itu, maka sekali lagi terdengar Bramadaru berdesis, “Kesalahan terbesar terletak pada pamanda Pangeran Sena Wasesa. Kenapa pamanda tidak menghindari saja pertemuan dengan perempuan itu. Seandainya pamanda harus bertemu, maka pamanda dapat saja menyatakan, bahwa tidak ada hubungan apapun dengan perempuan itu. Sehingga dengan demikian pamanda tidak usah membawanya kemari dan yang ternyata menumbuhkan persoalan baru bagi keluarga ini”

Dalam pada itu, Raden Ajeng Ceplik pun menyahut, “Karena perempuan itu sudah terlanjur dibawa kemari, akulah yang akan pergi”

“Jangan. Jangan pergi diajeng. Itu bukan penyelesaian yang paling baik” dengan serta merta Bramadaru mencegahnya, “Kau harus tetap disini. Jika harus ada yang pergi, maka biarlah perempuan dan anak laki-lakinya itu saja yang pergi”

Tetapi Raden Ajeng Ceplik menggeleng. Katanya, “Ayahanda tidak akan membiarkannya pergi. Jika mereka yang pergi ayahanda akan mencarinya ke ujung bumi sekalipun. Tetapi jika aku yang harus meninggalkan istana ini, maka tidak akan ada keberatan apapun bagi siapapun”

“Kenapa diajeng menganggap bahwa orang itu lebih penting dari diajeng sendiri?”

Raden Ajeng Ceplik merenung sejenak. Namun akhirnya ia pun berceritera tentang perempuan itu dan anak laki-lakinya dalam hubungannya dengan harta benda dan pusaka yang pernah disimpan oleh ayahandanya.

“Kedua orang ibu dan anak itu telah membantu menyelamatkan ayahanda yang menurut istilah ayahanda, lahir dan batin. Ujud lahiriahnya anak laki-laki perempuan itu ikut membebaskannya dari tangan orang-orang yang telah menculiknya. Sedangkan secara batiniah perempuan itu telah membuat ayahanda menyadari segala kekurangannya. Perempuan itu telah dengan lembut memberikan satu kesadaran kepada ayahanda, bahwa ia harus mengembalikan pusaka dan harta benda itu kepada Kangjeng Sultan”

Jantung Bramadaru berdentang semakin keras. Bahkan rasa-rasanya seisi dadanya telah terguncang mendengar keterangan Raden Ajeng Ceplik tentang pusaka dan harta benda itu.

Hampir diluar sadarnya Bramadaru bertanya, “Jadi pamanda telah menyerahkan kembali pusaka dan harta benda itu?”

“Ya kakangmas. Pusaka dan harta benda itu telah diterima kembali oleh Kangjeng Sultan. Dengan demikian maka pusaka dan harta benda itu tidak lagi menjadi beban ayahanda” jawab Raden Ajeng Ceplik.

Keringat dingin telah membasahi seluruh tubuh Bramadaru. Ternyata usahanya untuk mendekati Raden Ajeng Ceplik dan kemudian mengawininya sudah tidak ada gunanya lagi. Raden Ajeng Ceplik bukan anak tunggal. Karena itu, maka warisan Pangeran Sena Wasesa, tidak akan jatuh ke tangannya seluruhnya. Apalagi ketika kemudian ia mendengar bahwa Pangeran Sena Wasesa telah menyerahkan kembali pusaka dan harta benda itu.

Untuk beberapa saat Bramadaru tidak dapat menjawab. Ia duduk sambil menundukkan kepalanya. Mimpinya seakan-akan bagaikan embun yang terkena panas matahari. Menguap tanpa bekas.

“Aku harus dengan cepat menyampaikan hal ini kepada ayahanda Pangeran Gajahnata dan guru Ki Ajar Wrahasniti” berkata Bramadaru di dalam hatinya, “Aku harus mendapat perintah-perintah terakhir. Apakah aku harus meninggalkan perempuan cengeng ini, atau ada perintah yang lain yang harus aku lakukan?”

Sementara itu Raden Ajeng Ceplik pun berdiam diri untuk beberapa saat. Ia merasa bahwa dengan sungguh-sungguh Bramadaru telah ikut memikirkan keadaannya. Karena itu, maka rasa-rasanya pada saat terakhir, hanya Bramadaru sajalah orang yang paling mengerti tentang kesulitannya.

Karena itu, maka Raden Ajeng Ceplik itu telah melupakan semua pesan embannya tentang Bramadaru. Bahkan rasa-rasanya ia telah menumpukan semua harapannya kepada anak muda itu. Anak muda yang pernah menyatakan untuk mengikat hubungan batin yang lebih mendalam dengan dirinya.

Namun sementara itu, Bramadaru menjadi kehilangan penalaran. Apa yang sebaiknya dikatakan dan dilakukan. Ternyata semua yang diharapkan pada gadis itu telah tidak ada lagi.

“Aku harus mendapat petunjuk dari ayahanda dan guru” berkata Bramadaru di dalam hatinya.

Karena itu, maka ia pun kemudian memutuskan untuk minta diri. Namun sudah barang tentu ia tidak dapat dengan serta merta meninggalkan gadis itu begitu saja.

Bramadaru menjadi berdebar-debar ketika tiba-tiba saja Raden Ajeng itu berkata, “Kakangmas Bramadaru. Bagiku, jalan satu-satunya adalah meninggalkan istana ini. Aku tidak akan dapat menolak atau memohon kepada ayahanda tentang apapun juga atas perempuan dan anak laki-lakinya itu. Ayahanda sudah mengatakan kepadaku, bahwa aku hanya dapat menerima kenyataan ini. Sementara ketika dua orang tamu ayahanda memberikan beberapa petunjuk, aku pun menjadi semakin yakin, bahwa kenyataan ini tidak dapat dirubah lagi dengan cara apapun juga. Karena itu, yang paling mungkin aku lakukan adalah berbuat sesuatu atas diriku sendiri. Maka sebaiknya aku meninggalkan istana ini saja. Biarlah aku ikut kemana kakangmas pergi”

Jantung Bramadaru berdentang semakin cepat. Namun anak muda itu harus memecahkan persoalan yang dihadapinya saat itu. Bagaimana caranya untuk minta diri agar ia dapat segera berbicara dengan ayahandanya dan gurunya.

Namun akhirnya Bramadaru itu pun menemukan akal juga. Dengan cerdik ia berkata, “Diajeng. Baiklah aku ikut memikirkannya, apa yang sebaiknya diajeng lakukan. Justru untuk itu, agar semuanya dapat aku lakukan dengan yakin, maka biarlah aku bertemu dengan ayahanda Gajahnata. Mungkin aku akan dapat memohon segalanya dipercepat. Dengan demikian diajeng tidak semata-mata meninggalkan istana ini. Jika ayahanda Gajahnata setuju segalanya dipercepat, diantara kita tidak akan timbul persoalan. Maksudku diantara keluargamu dan keluargaku. Berbeda dengan jika aku membawa diajeng begitu saja. Meskipun demikian segalanya akan aku pikirkan kemudian setelah aku berbicara dengan ayahanda. Jika ayahanda Gajahnata berkeberatan, mungkin aku sependapat dengan diajeng untuk meninggalkan istana ini dengan diam-diam”

Raden Ajeng Ceplik mengangguk-angguk. Katanya, “Segalanya terserah kepada kakangmas Bramadaru”

“Karena itu, sebaiknya aku mohon diri. Biarlah segalanya dapat segera kita selesaikan dengan cepat” berkata Bramadaru kemudian.

Dengan demikian maka Bramadaru itu pun segera bangkit. Raden Ajeng Ceplik mengantarkannya sampai ke tangga.

Namun dalam pada itu, diluar sadarnya, Bramadaru telah berpaling. Dilihatnya Raden Ajeng Ceplik, itu sekilas. Sudah berpuluh kali Bramadaru memandang wajah dan tubuh Raden Ajeng Ceplik. Namun rasa-rasanya saat itu ia telah melihatnya dengan jelas, segala lekuk tubuh gadis itu. Kulitnya yang kuning dan tubuhnya yang semampai. Wajahnya meskipun muram, namun gadis itu memang sangat cantik.

“Gila” geram Bramadaru, “gadis itu memang sangat menarik. Tetapi tidak ada gunanya lagi aku mempersulit diri untuk mengawininya, meskipun rasa-rasanya ingin juga membawanya”

Sejenak kemudian, Bramadaru yang kecewa itu telah meninggalkan istana Pangeran Sena Wasesa. Namun dengan demikian justru telah tumbuh perasaan dendam kepada keluarga itu. Keluarga yang telah melenyapkan segala macam impian dan harapannya. Sementara itu sifat-sifatnya yang selama pergaulannya dengan Raden Ajeng Ceplik telah ditekannya untuk tidak muncul sehingga yang nampak oleh gadis itu adalah sifat-sifat yang baik semata-mata, tiba-tiba telah melonjak sampai ke kepala.

Dengan tergesa-gesa Bramadaru kembali ke istana ayahandanya. Dengan tergesa-gesa pula ia melaporkan apa yang telah terjadi dan apa yang telah didengarnya di istana Pangeran Sena Wasesa.

Pangeran Gajahnata menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya kepada Ki Ajar Wrahasniti, “Aku juga sudah mendengar apa yang dikatakan oleh Bramadaru tentang pusaka. Meskipun hanya baru satu dua orang di istana Demak, namun seakan-akan Kangjeng Sultan justru telah mengakui bahwa pusaka dan harta benda itu telah kembali ke perbendaharaan”

“Aneh” berkata Ki Ajar Wrahasniti, “Apakah Pangeran Sena Wasesa sudah gila. Seandainya pusaka dan harta-benda itu benar-benar telah kembali, apakah Pangeran Gajahnata, tidak melihat atau mendengar, harta benda yang tidak ternilai itu dibawa masuk ke dalam ruang perbendaharaan?”

“Aku tidak tahu pasti, apakah harta, benda dan pusaka itu benar-benar telah dibawa masuk atau sekedar untuk mengamankannya saja” jawab Pangeran Gajahnata, “Tetapi yang hampir pasti adalah bahwa Kangjeng Sultan sudah mengetahuinya langsung dari adimas Pangeran Sena Wasesa.

“Aku masih belum yakin” berkata Ki Ajar Wrahasniti, “aku harus menemukan satu cara yang baik untuk memastikannya”

“Tetapi pamanda Pangeran Sena Wasesa telah mengatakan hal itu kepada diajeng Ceplik. Bahkan hal itu dilakukan sehubungan dengan kehadiran perempuan yang dikatakan sebagai isterinya dan seorang anak laki-lakinya itu”

Ki Ajar Wrahasniti menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Jika demikian gadis itu, tidak ada artinya lagi bagimu ngger. Kita harus mencari cara lain untuk mendapatkan harta benda dan pusaka itu jika masih belum masuk ke dalam bilik perbendaharaan”

“Apakah kita akan dapat menemukannya?” bertanya Pangeran Gajahnata.

Ki Ajar Wrahasniti mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Kita akan berusaha. Kita akan selalu berusaha”

Pangeran Gajahnata mengangguk-angguk. Tetapi baginya jalan sudah menjadi terlalu gelap. Meskipun demikian ia tidak ingin mengecewakan Ki Ajar Wrahasniti, sehingga karena Itu, maka, ia pun tidak membantahnya.

Namun sementara itu Bramadaru pun bertanya, “Lalu, bagaimana dengan diajeng Ceplik? Apakah kita tidak akan memerlukannya lagi untuk kepentingan ini?”

“Tidak” jawab gurunya, “Anak itu tidak berarti apa-apa lagi. Apalagi jika pusaka dan harta benda itu benar-benar sudah kembali ke perbendaharaan istana”

“Jika belum, apakah diajeng Ceplik masih akan ada artinya?” bertanya Bramadaru.

Ki Ajar Wrahasniti mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berdesis, “Mungkin masih ada gantinya”

“Untuk apa?” bertanya Pangeran Gajahnata.

“Puteri itu dapat kita ambil. Kita akan mengembalikan puteri itu, tetapi untuk ditukar dengan keterangan tentang pusaka dan harta benda. Jika Pangeran Sena Wasesa bersedia menunjukkan-nya, maka kita akan dapat mendahului Kangjeng Sultan Demak untuk mengambilnya” berkata Ki Ajar Wrahasniti.

“Tidak ada gunanya” jawab Pangeran Gajahnata, “Adimas Pangeran Sena Wasesa akan dapat melaporkan apa yang terjadi itu kepada Kangjeng Sultan kelak jika kita sudah mengembalikan Ceplik, sementara Ceplik pun akan dapat mengatakan siapakah yang telah mengambilnya”

Tetapi Wrahasniti tertawa. Katanya, “Puteri itu mengenal angger Bramadaru. Puteri itu akan mengenal pula Pangeran Gajahnata. Tetapi ia tidak, akan mengenal orang lain. Dan aku akan memerintahkan orang lain itu untuk mengambilnya. Orang yang asing sama sekali bagi para bangsawan di Demak. Kemudian, setelah Pangeran mendapat keterangan dari Pangeran Sena Wasesa tentang tempat harta benda itu disembunyikan dan sudah dibuktikan kebenarannya, maka Pangeran Sena Wasesa itu akan dapat dihapuskan saja dari sederetan bangsawan di Demak. Dengan demikian, maka semua jejak akan terhapus”

Pangeran Gajahnata mengangguk-angguk. Namun kemudian ia berdesis, “Tetapi apakah aku akan sampai hati melakukannya. Adimas Sena Wasesa adalah saudaraku. Dan gadis itu adalah kemanakanku”

“Pusaka dan harta benda itu nilainya jauh lebih besar dari Pangeran Sena Wasesa dan Raden Ajeng Ceplik. Karena itu, maka beberapa kelompok dari berbagai padepokan telah mengorbankan begitu banyak orang untuk menemukannya. Namun ternyata mereka gagal. Jika kita kemudian hanya mengorbankan dua orang saja, apakah artinya yang dua orang itu” berkata Ki Ajar Wrahasniti.

Dalam pada itu Bramadaru pun berkata, “Aku sependapat dengan guru, ayahanda. Jika ayahanda memberi ijin kepadaku, maka aku akan melakukannya. Aku akan mengambil diajeng keluar dari istana pamanda Sena Wasesa. Kemudian datang orang asing itu dan berpura-pura merampas diajeng. Dengan demikian, maka ia tidak akan menuduhku seandainya pada satu saat ia akan tetap hidup”

Pangeran Gajahnata hanya mengangguk-angguk saja. Jika itu sudah menjadi kebulatan niat antara anaknya dan gurunya, maka ia tidak akan mencegahnya.

Demikianlah, akhirnya segala sesuatunya telah dibicarakan antara Ki Ajar Wrahasniti dengan Bramadaru. Sehingga akhirnya keduanya telah menemukan kesepakatan.

“Adalah kebetulan sekali, bahwa diajeng Ceplik minta kepadaku untuk membawanya pergi” berkata Bramadaru.

Keduanya pun kemudian menetapkan dimana hal itu akan dilakukan dan kapan sebaiknya.

Bramadaru pun kemudian minta diri sambil berkata, “Aku akan menemui diajeng Ceplik. Aku akan minta kepadanya untuk keluar dari halaman istana. Aku menunggunya di pintu butulan yang tidak terjaga. Semuanya akan dapat berjalan dengan lancar. Dan sebaiknya aku lakukan menjelang tengah malam”

Gurunya sependapat, sehingga Bramadaru pun kemudian minta diri untuk menemui Raden Ajeng Ceplik

Di istana Pangeran Sena Wasesa, Bramadaru disambut dengan penuh harapan oleh Raden Ajeng Ceplik. Sementara itu, emban pemomongnya menjadi cemas melihat kehadiran Bramadaru yang seakan-akan hilir mudik di hari itu. Tetapi emban itu tidak dapat berbuat apapun juga, selain mencari kesempatan untuk memperingatkan Raden Ajeng Ceplik kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi atas dirinya.

Seperti yang sudah dibicarakannya dengan gurunya, maka Bramadaru pun kemudian menyatakan kesediaannya untuk pergi bersama Raden Ajeng Ceplik.

“Ayahanda Gajahnata tidak dapat mempercepat persoalan diantara kita. Tetapi ayahanda bersedia melindungi jika kita memang ingin melarikan diri. Tetapi cara yang kita tempuh harus sedemikian cermatnya, sehingga tidak seorang pun yang mengetahui, bahwa kita telah pergi bersama-sama kecuali ayahanda Gajahnata” berkata Bramadaru perlahan-lahan sekali sehingga hanya dapat didengar oleh Raden Ajeng Ceplik saja.

“Aku serahkan segalanya kepadamu kakangmas Bramadaru” desis Raden Ajeng Ceplik.

Dengan teliti Bramadaru memberikan pesan kepada adik sepupunya agar mereka tidak akan mengalami kesulitan. Katanya, “Jika kepergian kita diketahui oleh pamanda Sena Wasesa, maka mungkin sekali pamanda akan menghukumku”

“Ayahanda tidak akan memperdulikanku lagi” berkata Raden Ajeng Ceplik, “kemanapun aku pergi agaknya ayahanda tidak lagi mempersoalkan. Kembali atau tidak kembali, karena ayahanda telah mendapat ganti yang lebih lengkap. Seorang isteri dengan seorang anak laki-laki yang mampu menolongnya. Jadi, apakah artinya aku seorang perempuan yang tidak mampu berbuat apa-apa ketika segerombolan orang datang menculik ayahanda dari istana ini, selain jatuh pingsan”

“Mungkin memang demikian diajeng. Tetapi mungkin juga, pamanda merasa tersinggung karenanya meskipun tidak menghiraukan diajeng lagi. Karena itu, kita memang harus berhati-hati” berkata Bramadaru.

Ia pun kemudian memberikan petunjuk, bahwa lewat tengah malam Raden Ajeng Ceplik harus keluar dari pintu butulan yang tidak dijaga.

“Bukankah diajeng dapat melakukannya?” bertanya Bramadaru.

“Ya kakangmas. Di sebelah gandok ada sebuah pintu butulan yang dalam keadaan biasa tidak dijaga. Tetapi pintu gandok itu di selarak dengan kuat dari dalam” jawab Raden Ajeng Ceplik.

“Diajeng dapat membukanya?” bertanya Bramadaru pula.

“Tentu. Aku dapat membukanya dan aku dapat keluar dari pintu itu” jawab Raden Ajeng Ceplik.

“Baiklah. Jadi aku akan menunggu di luar pintu butulan di sebelah gandok kiri. Bukankah begitu?” bertanya Bramadaru.

“Ya kakangmas. Mudah-mudahan para tamu ayahanda itu sudah tertidur nyenyak” jawab Raden Ajeng Ceplik.

“Mereka tidak berkepentingan. Mereka tidak akan menghirau-kan kita. Mereka tidak akan berbuat apa-apa” berkata Bramadaru.

Demikianlah ketika semua pembicaraan telah masak, Bramadaru itu pun minta diri meninggalkan istana itu. Sekali lagi ia memberikan beberapa pesan, agar Raden Ajeng Ceplik tidak salah langkah.

Sepeninggal Bramadaru, Raden Ajeng Ceplik menarik nafas dalam-dalam. Seolah-olah ia telah mendapatkan jalan keluar dari kesulitannya. Jika ia keluar dari istana itu, maka ia tidak akan merasa lagi tersiksa.

Justru karena itu, maka rasa-rasanya hari menjadi sangat lamban. Matahari seakan-akan tidak bergerak di tempatnya.

Namun akhirnya malam pun turun juga. Perlahan-lahan matahari terbenam dibalik gunung.

Emban pemomong Raden Ajeng Ceplik itu menjadi heran karena di sore itu Raden Ajeng Ceplik tidak nampak terlalu sedih seperti sebelumnya. Bahkan Raden Ajeng Ceplik itu telah mulai memperhatikan dirinya lagi. Berbenah diri dan sedikit berhias.

“Mudah-mudahan puteri dapat segera wajar kembali” berkata emban itu di dalami hatinya. Tetapi bagaimanapun juga ia menjadi kecewa jika yang dapat memulihkan kegembiraan Raden Ajeng Ceplik itu adalah Raden Bramadaru.

“Ia akan menuntut terlalu banyak” berkata emban itu di dalam hatinya pula” bahkan puteri akan melupakan semua pesan-pesanku sehingga ia akan jatuh ke dalam satu keadaan yang tidak akan kalah pahitnya dari kenyataan yang dihadapinya sekarang. Bahkan jauh lebih pahit”

Tetapi emban itu masih belum berbuat apa-apa. Jika dengan demikian keadaan puteri menjadi suram kembali, ia akan menanggung akibatnya pula.

Dalam pada itu, setelah makan malam, puteri itu pun duduk sesaat di serambi. Meskipun udara malam mulai dingin, tetapi puteri itu tidak menghiraukannya.

Bahkan dengan teliti diamatinya gandok yang disediakan bagi para tamu ayahandanya. Di paling depan adalah sebuah ruang yang tidak terlalu luas. Kemudian bilik yang dipergunakan oleh para tamunya laki-laki. Sebuah longkangan kecil di belakang membatasinya dengan bilik yang dipergunakan oleh dua orang perempuan. Yang tua diantara mereka tentu yang dimaksud oleh ayahandanya. Endang Srini yang sebenarnya adalah ibu tirinya.

“Ia begitu angkuh. Sama sekali tidak mau berkenalan dengan aku seperti juga perempuan yang muda, yang katanya memiliki kemampuan seorang laki-laki. Apa lagi jika nanti perempuan itu sudah dinyatakan dengan resmi oleh ayahanda, bahwa perempuan itu adalah isteri Pangeran Sena Wasesa. Maka ia tentu akan lebih menghina aku lagi. Bahkan mungkin ia tidak akan memberi aku kesempatan apapun juga. sehingga aku akan tersisih. Karena itu, lebih baik aku pergi. Aku tidak mau melihat perempuan itu menyakiti hatiku. Apalagi anaknya, laki-laki. Ia merasa lebih tua dari aku, dan seorang laki-laki pula yang telah mampu menolong ayahanda dari kesulitan” berkata Raden Ajeng Ceplik di dalam hatinya.

Ternyata gandok itu segera menjadi sepi. Pintu-pintu pun telah tertutup. Tidak seorang pun lagi yang berada di serambi setelah mereka makan malam.

“Mudah-mudahan mereka tidak mengganggu aku malam nanti” berkata Raden Ajeng Ceplik itu di dalam hatinya.

Dalam pada itu, ketika malam menjadi semakin malam, maka emban pemomong Raden Ajeng Ceplik itu pun dengan hati-hati telah mempersilahkan puteri itu masuk ke dalam.

“Malam terlalu dingin puteri” berkata embannya itu.

Puteri itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku memang memerlukan kesejukan bibi. Malam terasa segar dan aku sama sekali tidak merasa dingin”

“Tetapi sebaiknya puteri masuk ke dalam. Angin malam dapat membuat puteri sakit” sahut embannya.

Raden Ajeng Ceplik tidak mau membuat embannya menjadi curiga. Karena itu, maka ia pun kemudian bangkit dan masuk ke bilik tidurnya.

Setelah minum beberapa teguk, maka Raden Ajeng Ceplik itu pun kemudian membaringkan dirinya sambil berkata, “Bibi, jangan hiraukan aku lagi. Aku sudah tidak apa-apa. Aku mengerti apa yang dikatakan oleh ayahanda dan apa yang dikatakan oleh tamu-tamu ayahanda. Jika kau ingin tidur di bilikmu sendiri, tidurlah disana. Tetapi besok pagi-pagi jangan lupa membangun-kan aku seperti kebiasaanmu. Aku harus menyediakan minuman bagi tamu-tamu ayahanda”

Emban itu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya hati Raden Ajeng Ceplik benar-benar sudah menjadi tenang. Namun kembali emban itu merasa kecewa jika ketenangan itu diperolehnya dari Raden Bramadaru, karena emban itu percaya, bahwa Raden Bramadaru sering melakukan tindak yang dapat menodai nama baik seorang gadis, bermodalkan ketampanan wajahnya dan, kemampuannya berpura-pura menghadapi gadis-gadis itu.

Sepeninggal embannya, Raden Ajeng Ceplik pun segera berbenah diri. Ia tidak akan membawa pakaian kecuali yang dipakainya dan selembar kain panjang. Tetapi Raden Ajeng Ceplik telah menyiapkan semua perhiasannya yang diletakkannya di dalam. sebuah peti kecil. Hanya peti kecil itu sajalah yang akan dibawa oleh Raden Ajeng Ceplik. Perhiasan itu akan dapat dijualnya jika ia memerlukan uang selama ia berada di dalam tempat persembunyiannya, sampai saatnya ia benar-benar dapat diterima oleh keluarga Pangeran Gajahnata dengan cara apapun juga. Atau meskipun ia harus pergi jauh-jauh dari Kota Raja bersama Raden Bramadaru.

Demikianlah, malam pun menjadi semakin malam. Ketika ayam jantan terdengar berkokok, maka Raden Ajeng Ceplik pun telah mempersiapkan diri.

“Sebentar lagi. aku harus meninggalkan istana ini. Istana yang sudah aku huni lebih dari tujuh belas tahun” berkata Raden Ajeng Ceplik itu di dalam hatinya.

Demikianlah, ketika Raden Ajeng itu merasa bahwa malam telah melampaui pertengahannya, maka ia pun dengan sangat berhati-hati telah keluar dari biliknya. Dengan sangat berhati-hati pula Raden Ajeng Ceplik telah membuka pintu samping dan keluar ke serambi.

Malam terasa sangat sepi. Di regol depan beberapa orang masih terkantuk-kantuk dan bertahan untuk tidak tertidur. Mereka tidak akan membiarkan peristiwa hilangnya Pangeran Sena Wasesa itu terulang lagi, Namun dalam keadaan sehat, maka Pangeran Sena Wasesa adalah orang yang sulit untuk dikuasai oleh siapapun juga. Bahkan, justru karena di gandok ada beberapa orang tamu yang memiliki ilmu yang tinggi, maka para penjaga itu seakan-akan telah memastikan bahwa malam itu tidak akan terjadi sesuatu di istana itu.

Namun dalam pada itu, Raden Ajeng Ceplik telah turun dari tangga serambi istananya, menyelusuri dinding rumah ke arah belakang. Kemudian dengan sangat hati-hati Raden Ajeng Ceplik itu pun melintasi longkangan dan berhenti di bawah sebatang pohon kanthil di halaman samping.

Dalam keadaan yang biasa, Raden Ajeng Ceplik tidak akan berani turun ke halaman. Bahkan untuk pergi ke pakiwan pun Raden Ajeng Ceplik sering membangunkan embannya yang tidur di bilik belakang.

Dalam pada itu, ketika Raden Ajeng Ceplik yakin, bahwa tidak ada orang yang melihatnya, maka ia pun telah berlari-lari kecil menuju ke pintu butulan yang diselarak. Dengan sangat hati-hati pula, maka Raden Ajeng Ceplik itu pun telah mengangkat selarak yang berat itu. Sejenak kemudian, maka pintu butulan itu pun telah terbuka.

Demikian Raden Ajeng Ceplik melangkah keluar, maka terdengar suara lambat di sebelah, “Diajeng Ceplik?”

Raden Ajeng Ceplik tertegun, Ia pun menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat Bramadaru muncul di dalami kegelapan, sambil berdesis, “Ini aku diajeng”

“O, syukurlah kakangmas. Aku sudah cemas, bahwa kakang-mas tidak akan datang” jawab Raden Ajeng Ceplik dengan berbisik.

“Kenapa tidak? Bukankah aku bukan pembual? Aku melakukan apa yang aku katakan. Aku memegang setiap janji yang aku ucapkan” jawab Bramadaru.

“Terima kasih kakangmas” desis Raden Ajeng Ceplik.

“Nah. Jangan terlalu lama. Mari, kita tidak mempunyai banyak waktu. Jika para peronda itu nanti mengelilingi halaman istana dan mereka menemukan pintu butulan itu terbuka, maka kita akan mengalami kesulitan” berkata Bramadaru kemudian.

Demikianlah, maka Bramadaru pun kemudian membawa Raden Ajeng Ceplik berjalan menyusuri dinding istana. Namun kemudian mereka pun memasuki sebuah jalan sempit dan mulai menjauhi istana itu.

Raden Ajeng Ceplik masih berpaling. Ada satu perasaan yang tergetar di hatinya. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa pada satu saat ia harus meninggalkan istana itu dengan cara yang aneh. Dengan cara yang tidak sewajarnya.

Tetapi Raden Ajeng Ceplik telah memilih cara itu.

Namun dalam pada, itu, demikian Raden Ajeng Ceplik dan Bramadaru meninggalkan pintu butulan itu, dua orang penjaga regol telah bersiap-siap untuk meronda berkeliling.

“Mari” berkata yang seorang, “Kau hanya menguap saja. Bagaimanapun juga, kita tidak boleh lengah”

Kawannya bangkit berdiri. Tetapi ia masih menggeliat dan menguap sekali lagi.

“Saat-saat begini, justru saat yang paling baik untuk mengantuk” jawab kawannya yang menggeliat itu.

“Mengantuk atau tidur?” bertanya yang lain.

“Mengantuk. Bukan tidur. Jika kita tidur, maka kita tidak akan dapat merasakan lagi. Tetapi jika kita duduk terkantuk-kantuk sambil bersandar di sudut dinding, alangkah nikmatnya. Sesaat kita terlena, sesaat kita tersandar” jawab kawannya.

“Ah, kau memang pemalas” geram yang lain, “Mari kita akan meronda”

Demikianlah kedua orang itu pun kemudian memandi tombak-tombak mereka. Perlahan-lahan mereka melangkah berkeliling. Mereka menyusuri dinding halaman. Dengan cermat mereka memperhatikan setiap sudut. Bahkan gandok yang berisi para tamu itu pun tidak terlepas dari pengamatan mereka.

Beberapa langkah kemudian, maka mereka pun mulai memasuki bayangan sebatang pohon kanthil. Mereka tertegun ketika mereka melihat pintu butulan. Bahkan keduanya pun kemudian telah melangkah mendekati.

Namun ternyata pintu butulan itu masih tertutup rapat. Selaraknya masih terpasang dengan kuat. Tidak ada bekas apapun juga yang pantas mereka curigai.

“Tidak ada apa-apa” desis yang seorang, “pintu itu masih tertutup rapat”

“Siapa yang akan membuka pintu itu dimalam hari?” bertanya kawannya.

Yang lain tidak menyahut. Namun kemudian keduanya pun melangkah menjauh meneruskan tugas mereka mengelilingi seluruh halaman.

Maka dengan demikian, tidak seorang pun dari para pengawal yang mengetahui bahwa Raden Ajeng Ceplik telah meninggalkan istana bersama Bramadaru. Dan tidak seorang pun dari mereka yang pernah mengetahui bahwa regol butulan itu pernah terbuka.

Sementara itu, Raden Ajeng Ceplik dan Bramadaru telah melintasi beberapa halaman rumah disebelah istana Pangeran Sena Wasesa. Semakin lama mereka berjalan semakin jauh. Bahkan mereka pun berjalan semakin cepat, agar mereka tidak dapat dilacak lagi oleh para petugas di istana Pangeran Sena Wasesa seandainya ada diantara mereka yang mengetahuinya.

Di sepanjang jalan, keduanya tidak terlalu banyak berbicara. Raden Bramadaru telah membimbing Raden Ajeng Ceplik dan kadang-kadang menariknya untuk berjalan lebih cepat.

“Marilah diajeng. Jika para pengawal menemukan pintu butulan itu terbuka, maka mereka akan menyadari, bahwa kau tidak ada di dalam bilikmu” berkata Raden Bramadaru.

Raden Ajeng Ceplik tidak menjawab. Ia berusaha untuk berjalan secepat-cepat dapat dilakukannya. Bahkan karena ia tidak ingin mengalami kesulitan jika para pengawal sempat menyusulnya, maka dengan tidak segan-segan Raden Ajeng Ceplik itu telah menyingsingkan kain panjangnya sampai ke lutut.

Demikianlah keduanya menjadi semakin jauh dari istana Pangeran Sena Wasesa, Mereka kemudian memasuki daerah yang sepi dan tidak banyak dihuni orang. Bahkan semakin lama mereka menjadi semakin jauh masuk ke daerah yang ditumbuhi oleh batang-batang perdu disela-sela pategalan.

“Kita kemana kakangmas?” bertanya Raden Ajeng Ceplik.

“Semakin jauh semakin baik diajeng” jawab Bramadaru.

“Apakah kakangmas sudah menentukan tujuan?” bertanya Raden Ajeng Ceplik.

“Kita akan pergi ke sebuah padukuhan di seberang hutan perdu. Aku mempunyai seorang pekatik yang tinggal di padukuhan itu. Sedikit diluar Kota Raja. Ayahanda sudah memerintahkan pekatik itu untuk menyiapkan tempat bagimu” Jawab Bramadaru.

Raden Ajeng Ceplik tidak bertanya lagi. Ia menurut saja ketika Bramadaru membimbingnya memasuki hutan perdu.

Dalam, pada itu, perjalanan itu pun menjadi semakin sulit Sehingga Raden Ajeng Ceplik harus menyingsingkan kain panjangnya lebih tinggi lagi, agar tidak tersangkut-sangkut pepohonan perdu. Tanpa berprasangka apapun juga, ia mengikut saja kemana Bramadaru membawanya.

Sebenarnyalah Bramadaru membawa Raden Ajeng Ceplik ke tempat yang memang sudah ditentukan. Tetapi tidak di rumah seorang pekatik seperti yang dikatakan oleh Bramadaru. Mereka berdua menuju ke tempat yang sudah ditentukan bersama dengan gurunya. Sebagaimana telah disepakati, di tempat itu sudah menunggu seorang yang ditugaskan oleh Ki Ajar Wrahasniti untuk merampas Raden Ajeng Ceplik dan membawa-nya ke tempat yang tersembunyi. Dengan demikian, maka mereka akan dapat memaksa Pangeran Sena Wasesa untuk menunjukkan dimana ia menyimpan pusaka dan harta benda yang tidak ternilai harganya itu.

 

Bersambung ke jilid 23

 

Sumber DJVU http://gagakseta.wordpress.com/

Ebook oleh : Dewi KZ

http://kangzusi.com/ atau http://dewikz.byethost22.com/

Diedit, disesuaikan dengan buku aslinya untuk kepentingan blog https://serialshmintardja.wordpress.com

oleh Ki Arema

kembali | lanjut

Tinggalkan komentar